
Jumat (14/2/2025) selepas Jumatan dan sebatbut (sebatang cabut), kami (Rumah Kretek Indonesia yang di dalamnya terdapat dua lembaga, yaitu Komunitas Kretek dan Komite Nasional Pelestari Kretek (KNPK) atau lebih akrab dengan nama Boleh Merokok berjumlah lima orang) meluncur ke sebuah pabrik rokok di Mlati, Sleman, Jogja. Yakni PT. Sata Jaya Sejahtera.
Pabrik tersebut memproduksi rokok dengan merek Praja, yang mereka sebut sebagai “Rokoknya wong Jogja”.
Dari kantor kami di Ngaglik, perjalanan memakan waktu 20 menitan untuk sampai di lokasi. Mas Waljid Budi Lestarianto, salah satu pimpinan di pabrik PT. Sata Jaya Sejahtera sekaligus ketua Pimpinan Daerah FSP RTMM-SPSI DIY, menyambut kedatangan kami dengan hangat di sebuah pendopo yang asri, persis di pinggir gedung pabriknya.
Halaman belakang pabriknya memang sengaja dirawat keasriannya. Di sana ada pohon beringin yang tumbuh besar. Di sekelilingnya banyak pohon rindang yang menjadi rumah bagi burung-burung.
Tangan Perempuan di Balik Kenikmatan Kretek Pabrik Rokok Sleman
Di sela-sela obrolan dengan Waljid, pukul 14.00 WIB, saat para karyawan pabrik rokok di Sleman istirahat, kami punya kesempatan berbincang dengan mereka. Mayoritas memang perempuan.
Bagi mereka, pabrik rokok–termasuk PT Sata Jaya Sejahtera di Sleman–memang memberi kesempatan kerja bagi para perempuan. Tanpa batasan usia. Tanpa keharusan melampirkan ijazah.
Saat memasuki gedung pabrik, kami menyaksikan sendiri, dari 160 karyawan di berbagai divisi, mayoritas adalah perempuan. Laki-laki bisa dihitung jari.
Berkat Industri Hasil Tembakau (IHT), para perempuan itu bisa berdaya secara ekonomi. Apalagi, sepengakuan mereka, pabrik rokok di Sleman tempat mereka kerja memberi upah yang lebih tinggi dari UMR Jogja.
Melinting dari Nol
Suasana hangat tersaji saat kami memasuki area produksi di dalam gedung pabrik rokok di Sleman tersebut.
Antarkaryawan tampak begitu akrab. Begitu juga relasi antara mereka dengan para petinggi pabrik.
Kami terpukau dengan betapa lincahnya tangan-tangan mereka dalam memproses sebuah produk rokok kretek. Mulai dari melinting, cek kualitas, hingga packaging.
Para perempuan buruh linting itu ternyata memulai keterampilannya dari nol. Karena memang pabrik rokok tidak mensyaratkan bahwa pelamar kerja sudah jago terlebih dulu. Pabrik rokok di Sleman itu mengaku siap melatih calon karyawannya dari nol, bahkan dari minus.
Siklusnya itu, buruh yang sudah mahir, ia akan melatih para pelinting baru. Dan pelinting baru yang sudah mahir, giliran mengajari pelinting yang lebih baru.
Lalu pelinting yang mahir bisa diangkat sebagai kepala pelinting dengan tugas memimpin proses pelintingan, mengejar pesanan, hingga menyiapkan manajemen risiko semisal ada lintingan yang gagal.
Ribuan batang rokok bisa terproduksi dalam sehari dari tangan-tangan cekatan mereka.
Keresahan Pabrik Rokok di Sleman
Kami menutup sore dengan menyimak keresahan dari Waljid dan jajaran petinggi pabrik rokok di Sleman tersebut.
Mereka mengeluhkan betapa tidak adilnya negara kepada IHT. Bagi mereka, bisnis rokok itu seperti judi: pabrik harus membayar cukai dulu, urusan laku atau tidak, negara tidak peduli.
Bukan kah seharusnya penjualan terlebih dulu, baru pajak kemudian. Lha ini tidak. Makanya pantas jika mereka menyebut IHT sebagai BUMN swasta. Sebab, bagaimana pun, IHT terus-menerus menyumbang negara.
Itu saja masih harus berhadapan dengan serangkaian regulasi-regulasi yang membunuh IHT pelan-pelan.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: SPG Rokok, Penyambung Lidah Pabrikan dan Perokok
Leave a Reply