Press ESC to close

Cerita Kiai dari Besuki: Berdakwah, Sejahterakan Masyarakat, hingga Beri Pendidikan Gratis lewat Tembakau

Catatan Ekspedisi Emas Hijau Jilid II: Pesantren Babus Salam Al-Ukhrowi, pesantren yang menanam tembakau

Atas segala lika-liku mengulik tembakau di Tambeng, pada 23 Juli 2025 kami memutuskan sowan di Pesantren Babus Salam Al-Ukhrowi.

Ketika sampai di pondok pukul 15.45 WIB, ternyata mereka baru beres melaksanakan kegiatan hajatan. Untungnya, pemilik pesantren mempersilakan kami untuk berbincang. Kami disambut langsung oleh Pak Yai Aznawi dan Nyai Tuti Fatmawati.

Menanam tembakau untuk berdakwah dan berdampak

Aznawi adalah seorang kiai sekaligus petani tembakau. Ia lulusan Komunikasi Penyiaran Islam di Universitas Islam Negeri. Sosok kelahiran 1975 mengaku sudah akrab dengan tembakau sejak remaja. Ia merokok sejak remaja sampai sekarang berumur 50 tahun.

Uniknya, Aznawai bukan berasal dari keluarga petani. Ia sendiri baru menjadi petani di usia 28 tahun, pada 2003, tiga tahun setelah Aznawi menikah pada tahun 2000.

Baru juga memulai menjadi petani, ia langsung jadi ketua kelompok tani.

“Saya belajar bertani tembakau secara mandiri, juga dari warga sekitar, bertanya soal penjemurannya berapa hari, cara merawat, perhitungan modal, dan penjualan,” ujarnya.

Aznawi bertani sembari berdakwah. Sesederhana mengajak para petani istirahat untuk salat zuhur kala azan tengah hari sudah berkumandang. Ia ingin membiasakan petani-petani sekitar agar ladang/kebun tak lantas membuat mereka lupa panggilan Tuhan.

“Jangan zahir (kegiatan fisik) saja yang dipikirkan, tapi batin juga,” tuturnya.

Berangkat haji karena tembakau

Aznawi mengaku beruntung, karena percobaan pertamanya sebagai petani tembakau langsung berhasil.

Aznawi mengawali menjadi petani sebenarnya tidak di lahan sendiri. Melainkan, meminjam lahan mertuanya, yang luas tanahnya 200 meter persegi.

Ketika penghasilanya mulai meningkat, ia pun menyewa lahan. Saat keuntungan semakin meningkat, Aznawi lalu memberanikan diri untuk membeli tanah sendiri.

Meskipun sejurus kemudian ia gadaikan untuk modal membangun pesantren. Beruntungnya lagi, tanah yang digadai bisa balik lagi dari hasil panen tembakau.

Kilas balik ke 2003. Modal Aznawi untuk menjadi petani tembakau adalah Rp3 juta, lalu biaya rajang Rp1,6 juta, dan laku Rp12 juta.

Singkat cerita, setelah mempunyai keuntungan yang cukup, Aznawi akhirnya menggunakan jasa buruh tani, supaya ia bisa fokus ke pendidikan.

Ketika Aznawi sudah mempekerjakan buruh tani, ia juga membuat jadwal liburnya di hari Jumat. Dalam rangka menyiapkan waktu dan persiapan terbaik untuk salat Jumat.

Sampai akhirnya untung lagi dari hasil tembakau, Aznawi akhirnya bisa mempunyai 12 lahan tembakau pada 2007. Dari tembakau pula, Aznawi bisa melakukan ibadah haji.

Baca Juga:  Menilik Sisi Ekonomi Cengkeh Selain untuk Industri Kretek

Memuluskan jalan dakwah, mensejahterakan buruh tani

Untuk memuluskan jalan dakwahnya, Aznawi bahkan membagi setengah keuntungan hasil tembakau dengan buruh tani setempat. Jadi, lahannya punya Aznawi, tapi yang mengurusnya buruh tani. Modal awal dari Aznawi, lalu ketika penjualan laris, keuntungan tersebut dipotong dulu untuk modal, sisanya dibagi dua.

Hal itu bisa dilakukan hanya ketika menanam tembakau. Dakwah lancar, juga membantu perekonomian masyarakat sekitar.

“Hanya dengan tembakau saya bisa membagi hasil keuntungan 50:50. Tidak bisa dengan komoditas lain. Selain memberikan lapangan pekerjaan kepada orang yang tidak punya lahan, mereka pun bisa untung besar,” kata Aznawi.

Pasalnya, tanaman seperti beras tidak bisa berdampak besar seperti tembakau. Bagi Aznawi, menanam beras itu untuk keperluan makan sehari-hari santri. Bukan untuk jual beli.

Aznawi dan masyarakat sekitar lebih banyak menggunakan bibit Samporis dan Opot. Mengingat kondisi geografisnya berupa dataran rendah dan sawah, maka bibit Samporis dan Opot yang paling tepat.

Tahun 2025 ini Aznawi mempunyai 15 ladang tembakau. Satu ladangnya berukuran 400 meter persegi. Dan dari satu ladang saja bisa menghasilkan Rp50 juta perpanen Untuk beli bibitnya sendiri, Aznawi membeli per 1000 bibit, seharga Rp60 ribu.

Rp50 juta itu kotor karena dipotong upah untuk buruh tani. Dari pembagian itu buruh tani sejahtera. Upah dari buruh tani tembakau itu bisa untuk membetulkan rumah, memperbaiki dapur, pasang keramik, dll.

Untuk diketahui, satu buruh tani yang bekerja untuk Aznawi sehari-hari bekerja dari pukul 07.00-11.00 WIB. Jumat libur.  Bayarannya per hari mencapai Rp75 ribu perorang.

Dedikasi untuk pendidikan

Dari hasil keuntungan tembakau tersebut, Aznawi membangun pondok pesantren. Meskipun saat itu ia belum benar-benar mempunyai lahan tembakau, hanya mengandalkan sewa lahan. Akan tetapi, Aznawi teguh memakai hasil keuntungan tembakau untuk pendidikan.

Pada tahun 2013, Aznawi resmi membangun pesantren dari hasil tembakau. Kata resmi yang dimaksud Aznawi adalah semua bangunan akhirnya sudah jadi. Karena proses pembangunanya itu dicicil sejak tahun 2000. Pada awalnya hanya TK dan Madrasah dulu.

Lalu, pada  2025, jumlah santri di pesantrennya berjumlah 40 orang. Santri 10 dan santriwati 30. Dan jika ditotal dengan siswa/siswi yang tidak mondok, totalnya ada 80 siswa yang bersekolah di tempat Aznawi. Yang mengagumkan, semua kebutuhan santri atau siswa gratis. Bedanya, yang tidak mondok hanya tidak dapat makan gratis saja. Lainnya tetap gratis.

Baca Juga:  Mengenal Sejarah Singkat Papir

Semua santri yang belajar di pondok Aznawi tidak dikenakan biaya, semuanya gratis. Dari mulai makan dua kali sehari, kebutuhan buku, pakaian dan tempat tinggal.

Bahkan tidak tanggung-tanggung, sekarang sudah ada 11 lulusan dari pondok pesantrennya dibiayai hingga ke perguruan tinggi. Semua biaya tersebut dihasilkan dari panen tembakau.

Kendati para santri dibiayai dari tembakau, Nyai Tuti (istri Aznawi) tidak mengizinkan para santri merokok. Kecuali sudah cukup umur, dan yang pastinya kalau sudah bisa cari uang sendiri.

Tantangan dari negara sendiri

“Semurah-murahnya harga jual  tembakau, itu tetap lebih menghasilkan daripada beras.

Bahkan, seandainya kita nggak makan beras dan nggak ada hujan, ya sudah tanam tembakau saja,” kata Aznawi.

Menurut Aznawi, tantangan menjadi petani tembakau di Besuki itu sering kali mengalami kelangkaan pupuk. Masalahnya, langkanya itu bukan karena stok kurang. Melainkan dimonopoli.

Sekalipun pupuk itu ada, Aznawi mengaku harganya sangat mahal. Dan tidak ada subsidi. Kendati ada pupuk murah, tapi itu jelek. Akibatnya nanti kualitas rasanya tidak terjaga.

Pupuk itu berpengaruh sekali kepada tanaman, termasuk harga jual. Tahun 2025,  daun bawah dari bibit Opot, perkilonya bisa mencapai Rp50 ribu. Dan untuk bagian daun atasnya bisa Rp80 ribu. Mengikuti aspek lainnya seperti kelir (warna). Semakin kuning/emas semakin bagus harganya.

“Saya itu kesal sekali dengan pemerintah, kenapa masalah kelangkaan pupuk tidak pernah diatasi. Padahal kalau tidak ada petani bagaimana mungkin mereka bisa memenuhi permintaan pangan dari masyarakat,” kata Aznawi.

Aznawi mengaku tidak habis pikir. Pemerintah sering kali sosialisasi untuk tidak tanam tembakau. Padahal, Aznawi bisa mempunyai dampak yang bermanfaat  ke masyarakat karena tanam tersebut. Bukan berarti beras tidak penting, tapi beras hanya untuk makan, tidak bisa untuk pendidikan, apalagi berdampak luas.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Tetesan Embun di Tembaku Tambeng Membuat Harganya Fantastis

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *