
Indonesia adalah satu-satunya negara yang mempunyai rokok kretek. Rokok yang kandungannya tidak hanya tembakau, tapi juga ada cengkeh dan rempah-rempah lainnya.
Sedangkan produk seperti Marlboro itu disebut rokok putihan. Karena hanya terkandung tembakau tanpa cengkeh, apalagi kaya dengan rempah. Salah satu perbedaan inilah yang menyebabkan perang dagang terjadi.
Itulah sebabnya, bagi sobat kretekus yang pergi ke luar negeri, baik itu karena kerja, liburan, maupun penelitian, pasti akan susah menemukan kretek. Sekali pun ada harganya mahal. Dan tidak semua merek juga ada.
Paling-paling, yang dijual itu kretek golongan 1. Misal, produk Djarum dan Gudang Garam, itu memang ada. Hanya sialnya, harganya itu justru lebih mahal dari Marlboro. Yang kita tahu di Indonesia, Marlboro harganya itu mahal.
Teman saya yang bekerja di Australia juga mengeluhkan hal itu. Mengapa rokok favoritnya, Garpit, lebih mahal dari Marlboro. Alhasil ia membeli Garpit untuk self reward saja, sehari-harinya ia terpaksa mengkonsumsi Marlboro mentol.
Regulasi pembatasan/pelarangan kretek di berbagai negara
Kita sebut saja Amerika, negara dengan produsen rokoknya, Philip Morris yang telah mendunia–sekaligus negara yang menjadi sarang lahirnya antirokok. Sejak 2009 sudah melarang rokok kretek masuk Amerika Serikat.
Regulasi tersebut dibahas dalam Family Smoking Prevention Tobacco Control Act of 2009, Public Law 111-31. Pada poin 907: Amerika Serikat memberlakukan larangan penggunaan rokok yang mengandung rasa, kecuali terhadap rokok mentol. Aturan ini akan diberlakukan 90 hari setelah tanggal penandatanganan peraturan ini dilakukan pada 22 Juni 2009.
Aturan ini melarang produksi, juga penjualan rokok di Amerika yang mengandung beberapa kandungan, termasuk kretek. Anehnya, aturan ini tidak diberlakukan untuk rokok yang memiliki kandungan mentol.
Sejak 15 tahun yang lalu, peneliti junior Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM, Michelle Ayu Chinta Kristy mengatakan diskriminasi perlakuan pada rokok kretek Indonesia dipandang sebagai non-tariff barriers.
Dominasi rokok putihan
Sebagai informasi, non-tariff barriers adalah segala tindakan atau kebijakan. Selain tarif bea cukai, yang membatasi atau menghalangi perdagangan internasional seperti impor atau ekspor. Tindakan ini dapat berupa kuota impor, persyaratan lisensi, standar teknis dan sanitasi, atau prosedur administrasi yang rumit, yang sering kali bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri.
Hal tersebut dipaparkan dalam diskusi yang bertajuk “Sengketa Dagang Amerika Serikat-Indonesia dalam Kasus Rokok Kretek,” Jumat (15/10/2010). Pemateri lainnya, Ayu juga menambahkan bahwa Amerika takut apabila rokok kretek banyak disukai masyarakatnya. Karena akan mengancam eksistensi rokok putihannya.
Selain itu, dalam buku “Nicotine War” mereka juga menganggap ini sebagai perang dagang. Karena raksasa industri farmasi merasa tersaingi ketika konsumen mendapatkan manfaat nikotin dari rokok, bukan dari produk alternatif buatan mereka.
15 tahun telah berlalu, dan rokok kretek masih tetap dipandang sebelah mata oleh Amerika dan banyak negara lainnya. Lebih ironisnya lagi, rokok kretek juga sampai detik ini belum diakui sebagai produk kebudayaan. Padahal kontribusi ekonominya begitu tinggi.
Di sisi lain, produk rokok putihan Marlboro bisa sangat mudah ditemukan di berbagai negara. Bukan persoalan rokoknya enak. Melainkan sekuat apa negara bisa mempengaruhi kebijakan politik dagang internasional.
Jadi, mau sampai kapan Indonesia jadi macan yang tertidur?
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
- Soeharto: Bapak dari “Pencekik” Petani Cengkeh Bisa-bisanya Jadi Pahlawan Nasional - 10 November 2025
- Kopi Pangku hingga Asap Kretek di Pantura, Potret Perjuangan Hidup yang Tak Bisa Disikapi Pakai Urusan Moral Belaka - 10 November 2025
- Sisi Visioner Purbaya yang Tak Dimiliki Antirokok dan Menkeu Sebelumnya - 5 November 2025
Leave a Reply