Press ESC to close

Cengkeh: Wajah Indonesia yang Menggoda bagi Eropa

Sebelum Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18 Masehi, cengkeh menjadi rempah-rempah primadona di dunia.

Cengkeh (syzygium aromaticum) adalah tanaman asli dari Kepulauan Maluku, berasal dari empat pulau gunung Maluku; Ternate, Tidore, Moti, dan Makian.

Tanaman ini mulai mendunia karena pada beberapa abad sebelum Masehi, para saudagar dari Arab melalui Samudera Hindia melintasi Iskandariyah dan Laut Tengah, serta para pedagang Cina melalui jalur sutra melintasi Asia Tengah dan Barat, memperkenalkannya ke daratan Eropa.

Bandar-bandar besar Tyre di Yunani dan Venesia di Italia menjadi pelabuhan utama rempah-rempah Maluku ini memasuki kehidupan dan peradaban Eropa.

Sejarah Indonesia yang terbentuk dari cengkeh

Di Eropa, cengkeh digunakan untuk mengawetkan dan menimbun makanan selama bermusim-musim. Tanaman ini dianggap sebagai rempah paling berharga saat itu. Bahkan orang Eropa mempunyai prosa yang indah untuk menggambarkannya sebagai berikut:

“Kemampuan menyimpan makanan lebih dari yang kami makan sekaligus berarti kemampuan menjual dan membelinya dalam jumlah besar—dan kota-kota dagang pun mekar. Perekonomian yang dihasilkan mengarahkan kami ke zaman pencerahan dan kemudian Revolusi Industri. Tak lama setelah kami menghirup aroma yang sangat kuat dari Timur itu dan mengubah kimiawi makanan kami, maka kami pun melakukan lompatan besar dalam bidang budaya dan seni,” (Blair & Blair, 2010;30-31).

Baca Juga:  Tips Asyik Mengemas Bungkus Rokok Bergambar

Saking berharganya bagi peradaban Eropa, mereka pun tertantang untuk berlayar jauh mengambil langsung cengkeh dari tanah kelahirannya.

Pada abad ke-16 Masehi, armada-armada dari Eropa mencapai dan berlabuh di perairan Kepulauan Maluku. Negara-negara dari Eropa saling berebut kekuasaan, saling mengalahkan demi menguasai perkebunan cengkeh.

Hingga pada akhirnya eksplorasi rempah-rempah di Indonesia dikuasai oleh Belanda melalui kongsi dagang mereka: VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Melalui penguasan dan monopoli dagang, Belanda mampu menghasilkan jumlah produksi rerata 2.500 sampai 4.500 ton per tahun di atas penderitaan rakyat Indonesia.

Diselamatkan kretek H. Djamhari

Setelah bertahun-tahun cengkeh berjaya, cengkeh pun pernah masuk ke masa suram.

Rempah yang sempat menjadi primadona para saudagar Arab, pedagang Cina, dan kaum ningrat Eropa, tergantikan perannya oleh penemuan teknologi mesin pendingin berkat Revolusi Industri.

Memang cengkeh bisa dimanfaatkan untuk banyak hal. Tetapi pada masa itu, cengkeh banyak dimanfaatkan untuk mengawetkan makanan. Maka ketika mesin pendingin ditemukan, praktis cengkeh kehilangan nilainya.

Untungnya, nasib tanaman ini terselamatkan oleh Haji Djamhari,  sang penemu kretek asal Kudus, Jawa Tengah. Pada akhir tahun 1880-an, menemukan kegunaan baru dari tanaman tersebut sebagai ramuan utama rokok, khususnya kretek.

Baca Juga:  Review Rokok Viper Red; Nikmat Namun Tak Mempesona

Semenjak itu, rokok kretek sebagai produk khas asli Indonesia semakin banyak digemari. Praktis permintaan cengkeh dari Indonesia Timur pun menjadi meningkat, sekaligus menyelamatkan.

Ada alasan kenapa frasa “menyelamatkan” yang saya pakai untuk nasib tanaman ini. Pasalnya, mengutip dari buku Ekspedisi Cengkeh: Jika di Maluku, Ambon, dan sekitarnya tidak ada tanaman ini, maka lahan di sana akan berubah menjadi tambang.

Dan jika tambang merajalela, maka masyarakat hanya tinggal menunggu kehancuran lingkungan.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Menghisap Tembakau: Upaya Orang Jawa agar Tak Tampak “Hina” di Hadapan Bangsa Eropa  

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *