Memasuki paruh kedua tahun 2010an. peraturan daerah kawasan tanpa rokok mulai diterapkan di banyak daerah. Sayangnya, tiap daerah punya tafsiran sendiri tentang bagamana peraturan itu harus diterapkan. Misalkan, terkait ketersediaan ruang merokok untuk para perokok. Sudah jelas hukum wajib penyediaan ruang merokok di undang-undang, tapi di beberapa Perda KTR justru sifatnya hanya dapat.
Aceh sebagai salah satu daerah istimewa di Indonesia kini mulai melirik untuk membuat peraturan serupa. Bedanya, karena syariat islam menjadi salah satu acuan hukum di sana, maka sistem qanun jadi hal yang diterapkan di negeri serambi mekah tersebut. Dan usulan aturan tersebut telah masuk ke nomor registrasi Provinsi NAD.
Hingga hari ini Aceh memang belum memiliki peraturan yang serupa Perda KTR. Maka ketika wacana peraturan tersebut akan diterapkan, muncul opini pro dan kontra dari masyarakat. Dan wajar saja timbul pendapat yang menolak wacana tersebut, karena Perda KTR di banyak daerah yang dijadikan acuan juga masih diterapkan dengan serampangan dan melanggar poin-poin didalamnya.
Berbicara soal ruang dan kawasan, dalam Rancangan Qanun KTR, disebutkan lokasi-lokasi yang dilarang merokok adalah seperti pos kesehatan macam rumah sakit atau puskesmas, fasilitas pendidikan seperti sekolah atau pesantren, fasilitas umum tertutup seperti gedung pertemuan dan kantor pemerintahan, juga tempat permainan anak.
Namun, tidak disebutkan dimana ruang merokok ditempatkan, dan bagaimana posisinya dalam hukum. Apakah itu wajib, atau itu menggunakan kata dapat sebagaimana Perda KTR lain. Dan jika begitu, maka rancangan aturan di Aceh ini rentan cacat secara prinsip keadilan dan hukum.
Selain itu, ancaman hukuman berupa denda materi yang diusulkan pun tidak masuk akal. Jika ada orang yang melanggar katanya akan didenda sebesar Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Jika ini kemudian diterapkan, hukuman ini tentu sangat tidak manusiawi dan tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin hanya karena mengonsumsi produk legal bernama rokok, seseorang harus merogoh kocek sebegitu besarnya. Apalagi denda sebesar lima hingga sepuluh juta hanya diberikan bagi pengusaha dan pedagang rokok. Sungguh hukuman yang dibuat secara tidak adil dan berpotensi untuk merusak keharmonisan antara produsen, distributor, dan konsumen.
Usulan kebijakan lainnya yang patut dikritik adalah tentang larangan iklan rokok. Sejatinya aturan tersebut sudah ada dalam peraturan menteri kesehatan nomor 28 tahun 2013. Dalam hal ini disebutkan bahwa iklan rokok memang tak boleh di jalan protokol dan kawasan tanpa rokok. Namun bagi Pemerintah Aceh, mereka menginginkan iklan rokok tak boleh di 12 kawasan yang disebutkan di atas termasuk tempat umum.
Sekali lagi ini usulan kebijakan yang melanggar peraturan yang lain. Otonomi daerah tidak boleh semena-mena dalam memaknai tafsir hukum. Bagaimana pun peraturan soal rokok sudah diterapkan secara adil dalam Perda KTR. Mengingat banyaknya daerah yang asal-asalan dalam penerapannya, Aceh tak boleh mengikuti jejak buruk tersebut. Mengingat sekali lagi rokok bukanlah produk ilegal apalagi peredarannya dilarang secara hukum laiaknya narkotika.
Poin lainnya adalah kebijakan tentang qanun rokok di Aceh juga pembicaraanya harus melibatkan para perokok. Seringkali usulan peraturan dibuat diam-diam dan melalui rapat dengar pendapat dengan masyarakat lewat cara yang fiktif. Perlu diketahui bahwa para perokok juga menjadi pembayar pajak yang taat dan penyumbang keuangan bagi negara.
- Rokok Lucky Strike, Cigarettes That Always Strike You! - 7 November 2021
- Apa Rokok Paling Enak Versi Perempuan? - 16 October 2021
- Rekomendasi Rokok Enak Untuk Pemula (Bagian 2) - 9 October 2021