Search
Sutopo dan Ide Religiusnya Soal Peringatan di Bungkus Rokok

Bungkus Rokok Akan Dibikin Polos, Serius?

Wacana mengubah bungkus rokok menjadi polos telah berulang jadi bahasan pihak kesehatan. Isu ini didasari roadmap Menkes  tentang Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan, di antaranya terkait kemasan polos atau disebut juga plain packaging, ditargetkan dari 2020 sampai 2024 terwujud. Belum lama ini pihak kesehatan menyebutkan targetnya akan direalisasi pada tahun 2021.

Dari sisi kita konsumen tentu saja ada beberapa hal yang disesalkan, pertama soal hilangnya sarana ekspresi bagi pabrikan dalam mencitrakan produk melalui logo. Sebagaimana kita tahu, logo dan merek dagang adalah bagian dari sistem tanda yang menjadi ciri khas suatu merek. Kedua, soal peniadaan hak kreativitas, tentu itu mengancam sektor usaha mereka yang terlibat secara tak langsung. Ketiga, secara visual kita akan semakin sulit menandai rokok yang mau kita beli. 

Kebijakan bungkus rokok polos di beberapa negara lain memang sudah diberlakukan. Australia di antaranya, dalihnya sama; dalih kesehatan–untuk menekan angka perokok, terutama perokok pemula. Di Indonesia, jika memang nanti berlaku aturan tentang bungkus rokok polos, pihak pertama yang terpukul tentu saja industri. Sebetulnya, bicara soal pesan kesehatan pada kemasan rokok sudah ada di PP 109/2012. Diatur porsinya sebesar 40 persen. 

Baca Juga:  Menangkap Potensi Pasar Rokok Ilegal dan Kemungkinan Lain

Dalih bahwa dengan adanya peringatan kesehatan di bungkus rokok, maka jumlah perokok akan berkurang, semata-mata hanyalah cara lain untuk memukul sektor IHT dalam negeri. Kita angkat satu kasus, pada tahun 2014 saat pemberlakuan peringatan kesehatan bergambar. Faktanya jumlah perokok bukannya berkurang, malah yang berkurang jumlah pabrik golongan kecil yang tak mampu kejar biaya produksi. Karena harus menambah ongkos cetak. 

Perokok pada masa awal pemberlakuan gambar seram itu iya memang perlu adaptasi, selanjutnya tak terlalu jadi soal. Pula jika wacana bungkus rokok polos diberlakukan. Namun satu hal yang penting dipertanyakan, apa urgensinya sih di masa pandemi yang memberi banyak dampak ini, pihak kesehatan malah bahas soal plain packaging. Bukankah masih banyak PR lain yang lebih krusial terkait penyelesaian wabah covid.

Lagipun jika dibaca dari gelagatnya, ini pemerintah dan pihak kesehatan seperti tidak sinkron dalam konteks memahami target pengendalian. Di satu sisi, terkait bungkus rokok, pemerintah condong ke memperbesar porsi peringatan kesehatan, dari semula 40% menjadi 90%. Pihak kesehatan mengutamakan target plain packaging. Kedua wacana itu sama-sama tak memberi dampak sih, terutama jika dikaitkan dengan dalil menekan angka perokok.

Baca Juga:  Cacat Logika Birokrat dalam Memaknai Bantuan Tunai dan Perokok

Satu yang penting untuk diperhatikan adalah dampaknya bagi pelaku usaha golongan kecil. Tentu mereka akan semakin sulit bersaing, bahkan bisa tersisih dari pasar jika wacana plain packaging diberlakukan. Dengan ada logo di bungkus rokok saja susah kejar target, apalagi kalau dibikin polos. Padahal dengan mengacu pada aturan yang sudah ada sudah cukup kok pesan kesehatan tersampaikan, pemerintah juga harus tegas dalam hal ini. Apalagi ini sudah menyangkut sektor pemasukan negara. Ada sumber-sumber penghidupan rakyat yang terancam mati. Jangan sampai demi memenuhi target roadmap pengendalian, malah pabrik rokok dalam negeri bertumbangan.