Search
mengisap rokok

Risiko Merokok Lebih Mengancam Pria?

Media kerap kali saja mengangkat persoalan risiko merokok yang dikaitkan dengan kesehatan. Aktivitas merokok dibingkai sebagai kegiatan celaka yang seakan-akan patas untuk dihinakan. Rokok sebagai produk legal terus saja dinarasikan semata barang yang menakutkan.

Padahal, jika kita mau fair, apapun produk konsumsi yang mengisi daftar kebutuhan masyarakat, sama-sama memiliki faktor risiko. Lalu kenapa, melulu rokok yang distigma secara berlebihan lewat media? Seperti yang kita tahu, rokok merupakan produk kontroversi yang akan selalu jadi perbincangan.

Sesuatu yang kontroversi ketika dikemas secara boombastis, di antaranya dengan membangun rasa takut tertentu di pikiran masyarakat. Niscaya akan menjadi sorotan, rating pemberitaan pun meningkat. Salah duanya, iya tentang risiko merokok dan hal-hal yang niscaya mencipta spekulasi publik.

Sorotan tentang bahaya merokok kemudian dikaitkan lagi dengan persoalan gender. Kerugian kesehatan akan dialami pada kerja kognitif pria dibanding perempuan. Gangguan kognitif yang dimaksud berdasar studi percobaan yang dilakukan ke tikus yang berbeda.

Dari hasil percobaan itu kemudian disimpulkan, orang yang merokok akan menanggung efek kesehatan yang panjang, terlebih ketika ada entitas lain yang terpapar asapnya. Jika pria itu punya pasangan, maka pasangannya akan menanggung kerugian yang tak kalah fatal.

Baca Juga:  Melawan Politisasi Corona ala Antirokok

Bagi saya, adanya kategori perokok aktif dan pasif sejak dulu merupakan contoh kegagalan logika antirokok dalam upaya menakut-nakuti konsumen rokok. Sudah jelas-jelas merokok adalah aktivitas menghisap rokok, terus orang lain yang tidak menghisap rokok disebut juga perokok. Kok ngawur.

Bagaimana dengan pengendara yang asap kendaraannya menyeburkan polusi lalu terhirup orang lain, apakah artinya orang lain itu disebut pengendara pasif? Dari mana coba itu logikanya.

Secara logika bahasa ini saja sudah rancu sekali, maka benar saja kalau dikotomi itu adalah racun. Meracuni kewarasan kita untuk berpikir obyektif. Lantas dikaitkan pula dengan perkara gender, pria dituding telah mencelaki pasangannya dengan melakukan aktivitas merokok. Hellooow.

Sama sekali tidak memberi pemahaman yang obyektif sih itu, akan semakin jauh saja dari cita-cita masyarakat yang bersetara, jika semua-mua tentang rokok dibikin bias gender semacam itu. Tulisan ini bukanlah pembenaran bahwa laki-laki mutlak benar dalam memaknai kegemarannya merokok.

Siapapun orangnya, mau itu laki-laki atau perempuan memilki tanggung jawab yang sama. Artinya, merokok sebagai pilihan dewasa, telah sama-sama dipahami sebagai produk yang dikonsumsi dengan asas kesadaran.

Baca Juga:  Sejarah Diskriminasi Perokok, Dari Nazi Hingga Saat Ini

Perihal risiko kesehatan, iya itu semua kembali kepada cara kita menyikapi semua produk konsumsi, tak melulu soal rokok juga kali. Sejauh tetap mengedepankan pola hidup yang seimbang, potensi risiko negatif apapun pastinya dapat terkontrol dengan baik. Sekali lagi, asasnya adalah kesadaran.

Sangat disesalkan, jika masih saja ada pemberitaan yang sama sekali tidak obyektif. Apalagi sudah menyangkut pilihan dewasa, pilihan yang telah menjadi hak manusia merdeka, dijamin oleh asas-asas kemanusiaan. Bahwa manusia merdeka punya otoritas penuh dalam memaknai eksistensi hidupnya serta kebutuhan personalnya. Kok ya malah diobrak-abrik dengan logika yang bias gender gitu. Hih.