
Negara mencoba, sekali lagi, menghimpit Industri Hasil Tembakau dengan cara menggunakan bungkus rokok polos. Efektifkah?
Segala hal dilakukan untuk mengendalikan tembakau. Seolah tembakau menjadi barang yang nista bagi peradaban manusia. Di berbagai negara di belahan dunia pengendalian terhadap tembakau terus begitu masif, tanpa terkecuali di Indonesia. Berbagai aturan terus digelontorkan untuk menghimpit ruang gerak Industri Hasil Tembakau di Indonesia.
Sebagai contoh aturan yang belakangan menuai polemik adalah PP Nomor 28 Tahun 2024 yang isi pasalnya tidak karuan-karuan karena mencampurkan urusan-urusan lain seperti perdagangan, perindustrian dan lain sebagainya. Bahkan ada lagi turunan PP 28/2024 yang berupa Rancangan Permenkes yang belakangan juga menuai polemik. Aturan itu mewajibkan semua bungkus rokok jadi polosan.
Saat ditanya alasannya apa, ternyata Kementerian Kesehatan ingin meniru negara lain yang sudah meratifikasi FCTC untuk pengendalian tembakau. Dalam berbagai Indonesia memang perlu meniru negara lain, karena harus diakui Indonesia masih menjadi negara berkembang. Tapi dalam urusan bungkus rokok ini Indonesia tidak perlu meniru-niru negara lain.
3 Alasan Indonesia Tak Perlu Ratifikasi FCTC
Alasannya pertama, Indonesia sudah jelas tidak meratifikasi FCTC. Jadi ngapain membuat aturan yang isinya itu pasal-pasal di FCTC. Malah cenderungnya jadi aneh. Menerapkan FCTC tanpa ratifikasi.
Alasan keduanya, bahwa negara lain yang sudah menerapkan kemasan rokok polos ini justru jadi boomerang, misalnya seperti di Inggris. Kemasan polos ternyata tidak mampu mengurangi prevelensi perokok. Lalu di Prancis, Kemenkes Prancis mengakui bahwa kebijakan kemasan polos pada produk tembakau tidak berhasil. Penjualan rokok justru meningkat setelah merek dihapus dari kemasannya. Kemudian di Australia hal serupa pun terjadi. Kalau sampai kebijakan kemasan polos ini dipeberlakukan di Indonesia, alih-alih ingin menekan perokok justru akan menganggu perekonomian di Indonesia.
Itu baru alasan moderatnya. Kalau alasan lainnya yaitu alasan ketiga adalah Indonesia tidak usah meniru negara lain yang sudah menerapkan bungkus rokok jadi polos karena negara ini berhutang budi kepada Industri Hasil Tembakau. Buktinya sudah banyak, dari mulai pendapatan negara ratusan triliyun setiap tahunnya, lapangan pekerjaan bagi jutaan buruh, petani yang mengantungkan hidupnya dari tembakau dan cengkeh, pedagang-pedagang kecil yang meraup keuntungan dari penjualan rokok. Itu baru sedikit saja, tentu masih banyak elemen lain yang ikut diuntunngkan.
Sehingga kalau aturan ini diterapkan apakah pemerintah mampu menanggung efek itu semua? Apakah mereka siap? Apakah mereka mampu menganti lini Industri Hasil Tembakau? Seperti tidak!!
- Kita Harus Menghentikan Upaya Penghancuran Kretek - 5 December 2024
- 3 Hal Sederhana yang Bikin Perokok Kesal - 2 December 2024
- Untuk Pemerintah Daerah Baru Nantinya Jangan Keliru Ambil Kebijakan terhadap Industri Hasil Tembakau - 1 December 2024
Leave a Reply