
“Lebaran sekarang terasa berbeda.”
“Lebaran makin sepi aja.”
Momen Idulfitri kesekian, ungkapan klise itu selalu terdengar. Umumnya dari orang-orang umur 20-an ke atas.
Saya, entah kenapa, tidak pernah merasa ada yang berbeda dari Idulfitri. Sedihnya masih sama saja dari tahun ke tahun, tiap Ramadan akan berlalu.
Begitu juga dengan debar saat menyongsong Idulfitri. Ada perasaan bungah yang membuncah ketika akhirnya bisa mudik ke kampung halaman. Berkumpul dengan begitu guyub dengan keluarga yang tersisa.
Tapi, apakah lebaran memang sudah tak sama? Atau jangan-jangan kita saja yang sudah dewasa?
Bocah-bocah masih sama bungahnya menyambut lebaran
Setidaknya tiga lebaran terakhir pasca Covid-19. Paling tidak di tempat asal saya di Rembang, Jawa Tengah. Saya menyimpulkan bahwa ungkapan di atas seyogiayanya tidak bisa digebyah uyah (disamaratakan).
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, saya mudik empat hari menjelang Idulfitri. Di kampung, saya dapati bocah-bocah umur belasan tahun ke bawah tampak masih sangat antusias menyambut lebaran.
Mereka tak sabar mengenakan pakaian baru. Tak sabar mencicipi aneka jenis jajanan. Juga tak sabar mengumandangkan takbiran. Apalagi bermain petasan-main di luar rumah hingga larut malam.
Suasana itu, masih sama persis dengan apa yang saya rasakan puluhan tahun lalu saat masih seusia mereka. Lantas, di mana bedanya?
Lebaran kita tidak bisa disamakan dengan mereka
Jawaban saya, rasa-rasanya kok tidak. Begini, jika teman-teman mendapati jalanan kampung yang mulai sepi. Tak seperti zaman kita dulu. Itu bukan berarti suasana Idulfitri makin berubah. Tapi kitalah yang “berubah” seiring waktu.
Di zaman ketika kita masih bocah. Tidak ada teknologi. Tidak ada HP dan internet. Motor pun masih minim.
Maka, hiburan kita selama lebaran adalah berkeliling. Memadati jalanan kampung dengan jalan kaki. Itu asyik sekali.
Sementara sekarang, lebaran menjadi momentum bagi bocah-bocah untuk kumpul di satu rumah. Lalu saling mabar. Itu sama jasyiknya dalam dunia mereka.
Apakah itu salah? Tidak. Sebab perubahan zaman adalah perkara niscaya. Dewasa membuat kita terjebak dalam nostalgia anak-anak. Masa ketika pikiran kita belum terlalu penuh dengan banyak hal: terutama berkait-paut dengan masa depan yang mencemaskan.
Barangkali kita saja yang sudah dewasa dan menua
Iya. Barangkali kita saja yang sudah dewasa dan menua. Lalu kita bisa menyimpulkan, ternyata menjadi bocah selamanya bukanlah ide yang buruk.
Kita telah melewati masa sembilan hingga dua belas tahun sekolah. Tambah beberapa tahun lagi bagi yang kuliah. Lalu kita mulai mencecap kerasnya hidup. Apalagi bagi kelas menengah bawah: harus memeras seluruh isi kepala dan tubuh untuk bertahan hidup.
Di titik itu, rasa-rasanya kita ingin kembali ke masa lalu. Masa yang berbeda sama sekali dari hari ini. Ketika lebaran menjadi kabar langit yang kita sambut dengan suka cita.
Dan lantaran masa itu tidak bisa terulang, kita lantas berdalih, “Lebaran tak lagi sama”.
“Tapi lebaran memang berbeda. Rumah tidak lagi sama karena sudah tidak ada orang tua,” mungkin akan ada yang nyeletuk semacam itu. Tapi sekali lagi, bukan lebarannya yang berubah. Tapi situasi kitalah yang telah lain. Lebaran masih akan sama bagi generasi di bawah kita dan orang-orang beruntung.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Komunitas Kretek
BACA JUGA: 4 Rekomendasi Rokok yang Cocok untuk Sajian Lebaran
- Sejarah dan Alasan Hari Kretek Diperingati 3 Oktober Bukan di Tanggal Awal Peracikannya oleh H. Djamhari - 24 April 2025
- Merokok Tidak Ada Hubungannya dengan Moral, Karena Ada yang Nggak Merokok tapi Korupsi - 21 April 2025
- Hubungan Pabrik Rokok dengan Konsumen Disebut kayak Budak dan Majikan, Padahal Bentuk Nyata Slogan “Dari Rakyat untuk Rakyat” - 16 April 2025
Leave a Reply