
Desember 2024 lalu adalah kali kedua saya pergi ke Bali. Hanya saja, kali itu saya tidak sekadar menuju ke tempat-tempat wisata populer seperti Canggu atau Ubud. Ada destinasi baru yang baru kali itu juga saya datangi: makam Desa Trunyan, Kintamani, Kabupaten Bangli.
Perjalanan ke Desa Trunyan, Bali, tentu saja bukan seperti ziarah sebagaimana ziarah di makam-makam Wali Sanga. Tapi lebih ke belajar kekhasan lokalitas Bali. Apalagi Desa Trunyan merupakan desa kuno.
Desa Trunyan yang saya datangi berada di tepi kawah Gunung Batur. Menujunya juga harus menyeberang danau.
Makam Desa Trenyan berbeda dengan model pemakaman pada umumnya (gundukan tanah). Cara memulasara jenazah di sana pun tidak sama seperti cara jamaknya orang Bali: melalui upacara ngaben (pembakaran jenazah).
Jenazah-jenazah di makam Desa Trunyan diletakkan di atas tanah, ditutup dengan sangkar bambu (mepasah), dan berada di bawah pohon bersama barang-barang kesayangannya selama hidup.
Djarum 76 Mangga Jadi Pembuka Jalan ke Makam Desa Trunyan Bali
Untuk mencapai Desa Trunyan, saya dan rombongan menyewa mobil (sepaket sopir). Butuh waktu 45 menit untuk sampai ke Desa Trunyan, Bali.
Sesampainya di Desa Trunyan, kami masih harus naik perahu nelayan untuk menggapai area makam. Yudi, seorang tour guide di kawasan Trunyan menemani kami dalam perjalanan ini.
Yudi berpesan agar kami menghormati adat istiadat setempat sekaligu tidak melanggar pantangan-pantangan di sana. Misalnya, perempuan haid tidak boleh ikut ke makam, menjaga sopan santun, dan tidak mencuri barang yang ada di makam.
Hari itu kami cukup beruntung karena cuaca sedang baik. Sebab, menurut Yudi, jika sedang hujan lebat, maka perjalanan naik perahu mati total. Meskipun dari pelabuhan ke makam hanya memakan waktu sekitar 15 menit saja.
Ketika perahu kami hampir sampai ke area makam, Yudi tiba-tiba bertanya, “Apakah ada yang membawa rokok?” Saya langsung inisiatif mengeluarkan rokok Djarum 76 Mangga kepada Yudi, tanpa banyak bertanya.
Rupa-rupanya, setiba di depan gerbang area makam, rokok saya dijadikan persembahan sebagai bentuk ucapan salam antara wisatawan dengan roh yang telah meninggalkan dunia fana.
Samar-samar saya mendengar Yudi merapal mantra dengan bahasa yang tidak saya pahami. Yudi lalu menyalakan rokok Djarum 76 Mangga pemberian saya, ia letakkan di sisi kiri gerbang, lalu baru lah kami bisa lanjut perjalanan.
Rokok dan Spiritual
Di dalam makam Desa Trunyan, Bali, saya akhirnya tahu betapa rokok begitu kental dengan nilai spiritual.
Rokok tidak hanya menjadi simbol persembahan saat kami hendak masuk saja. Di sekitar mayat yang tergeletak di dalam mesapah juga terdapat banyak rokok, bahkan dalam bentuk bungkusan.
Yudi menjelaskan, seperti saya singgung di awal tulisan, bahwa jenazah di makam Desa Trunyan, Bali, disemayamkan bersama barang kesayangannya selama hidup. Maka, misal jika ada jenazah yang semasa hidup merupakan perokok, maka rokok lah yang menemani jenazah tersebut di kehidupan selanjutnya.
Nilai-nilai seperti ini, agaknya tidak dipahami oleh kelompol antirokok.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Asbak Penis Bali: Bukan Tabu dan Porno, Tapi Simbol Sakral dan Kekuatan
- Pentingnya Rokok bagi Orang Madura untuk Membangun Kerukunan - 10 February 2025
- 4 Falsafah Merokok dalam Prosesi Adat Batak Angkola di Kota Padangsidimpuan - 7 February 2025
- Di Suku Tengger Perempuan Merokok Tidak Distigma Negatif, Jadi Teman saat Kerja di Ladang dan Simbol Kemandirian - 6 February 2025
Leave a Reply