Press ESC to close

Di Masa Penjajahan Jepang, Rokok Jadi Penunda Lapar bagi Pram

“Saya merasa sulit untuk menulis jika tidak merokok,” ucap Pramoedya Ananta Toer dalam kata pengantarnya di buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes karya Mark Hanusz.

Pram begitu dekat dengan rokok, khususnya kretek. Merokok tidak hanya menjadi teman dalam proses berkaryanya. Lebih dari itu, rokok adalah bagian dari diri Pram.

Pram juga mengatakan bahwa kretek memang bukan sekadar rokok. Tetapi juga bagian dari identitas budaya: masuk ke kehidupan masyarakat, baik sebagai hiburan, alat tukar, dan bahkan simbol ketahanan ekonomi.

Kedekatan Pram dengan kretek tidak hanya tercermin ketika ia berkarya. Sejak kecil ia sudah mencoba merokok. Dan rokok pertama kali yang Pram bakar ialah klobot—rokok yang dibungkus dengan kulit jagung dan diikat dengan benang katun merah.

Menjual kretek adalah pekerjaan pertama Pram

Tidak hanya sebagai penikmat saja, Pram juga menjelma menjadi penjual rokok kretek. Itulah pekerjaan pertama Pram.

Awalnya Pram menjajakan kreteknya di depan rumah dengan lapak sederhana. Lalu ketika pasar malam digelar di Blora, Pram juga ikut berjualan di sana, ditambah jualan minuman.

Baca Juga:  Buruh Kepik Cengkeh Mendapat Nilai Tambah dari Panen Raya di Munduk

Tetapi ketika awal merintis berjualan, Pram bekerja setiap hari bersama adiknya. Dari pagi sampai malam. Kalau ada keperluan rumah, maka adik pram yang menjaga lapak.

Semua kerja keras tersebut Pram lakukan demi pendidikan. Selain itu, keluarga Pram memang sedang kesulitan keuangan.

Pram juga memang dididik keras untuk mandiri dan mampu bertanggung jawab atas hidupnya. Tidak hanya soal pendidikan, tetapi juga tanggung jawab rumah dan lingkungan sekitar.

Berdikari atas diri sendiri

Maka, berbekal hasrat belajar yang tinggi dan etos kerja yang memadai, Pram menjual kretek. Syukurnya, lapak Pram sungguh sangat laris. Saking populernya, jualan Pram pernah habis hanya dalam waktu dua jam saja.

Dari hasil keuntungan penjualan itulah Pram mampu berdikari atas hidupnya. Hasrat untuk melanjutkan pendidikan yang sempat terhalang oleh uang pun akhirnya teratasi.

Dari kisah itu saya langsung teringat dengan kutipan Sujiwo Tedjo, “Kalau kamu anti rokok, jangan pernah nikmati karya besar. Karena karya besar selalu lahir dari seorang perokok.”

Kretek jadi penunda lapar

Ketika masa pendudukan Jepang, rakyat Indonesia kala itu bukan hanya kehilangan nyawa karena tertembak peluru, tetapi juga akibat dari sulitnya mencari pangan.

Baca Juga:  Merek Rokok Terkenal yang Sudah Tidak Diproduksi

Di tanah yang subur ketika apa pun yang ditanama bisa tumbuh, justru rakyatnya mati berjatuhan karena kelaparan.

Pram sendiri pada masa itu hanya bisa makan bubur yang sekali sehari pun belum pasti. Maka untuk menghilangkan rasa lapar yang melilit perutnya, kretek menjadi jawabannya.

Pram merokok untuk terhindar dari kematian karena kelaparan. Tetapi sialnya, untuk mendapatkan rokok pun tidak mudah. Bahkan untuk kretek klobot.

Kendati demikian, kreatifnya masyarakat Indonesia: mencari alternatif lain dengan menggunakan daun-daunan untuk bisa terus mengkretek.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Tari Kretek: Gambaran Betapa Orang Kudus Menghormati Tembakau

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *