Kehadiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222 Tahun 2017 (PMK 222) tentang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) bakal menjadi bom waktu stakeholder Industri Hasil Tembakau (IHT). Selain keluar tanpa dibahas bersama stakeholder pertembakauan, PMK ini juga sarat kepentingan dan cuci tangan dari pihak pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah mengurus Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi kunci dari segala persoalan ini.
Permasalahan utama dari PMK ini adalah alokasi dana bagi hasil yang terkesan dipaksakan dan tidak berpihak pada para pemangku kepentingan. Dalam salah satu ayat pada peraturan tersebut, disebutkan alokasi DBHCHT harus diberikan MINIMAL 50% kepada urusan JKN. Artinya, hanya kurang dari 50% dana bagi hasil cukai yang bakal kembali ke stakeholder tembakau yang menjadi sumber penghasil DBHCHT.
Sudah sejak lama memang aturan soal alokasi DBHCHT ini tidak tepat sasaran. Sebelum PMK tersebut keluar, alokasi dana ini harusnya diberikan untuk peningkatan mutu bahan baku dan pembinaan industri. Selain itu, memang ada juga alokasi untuk pembinaan lingkungan sosial dan sosialisasi aturan cukai. Sayangnya, untuk dua poin pertama, alokasi tidak banyak dirasa oleh para petani sebagai salah satu stakeholder.
Kecurigaan bahwa DBHCHT tidak akan difokuskan pada peningkatan mutu dan pembinaan industri benar-benar terjadi. Sebagai contoh, Pemkot Pekalongan mengalokasikan 80% DBHCHT Kota Pekalongan, atau sebesar Rp5,3 miliar untuk membayar iuran JKN-KIS bagi masyarakat Kota Pekalongan. Anda tidak salah baca; 80%.
Secara peraturan tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh Pemkot Pekalongan, karena memang hal tersebut dijamin oleh PMK 222. Permasalahannya adalah proporsi alokasi dana tersebut. Dalam PMK 222 ada 5 poin yang menjadi sasaran alokasi DBHCHT–selain untuk JKN. Sialnya, hanya JKN-lah yang nampak jadi prioritas. Selain untuk membayar JKN yang mencapai 80% tadi, Pemkot Pekalongan juga mengalokasikan pengadaan sarana Balai Kesehatan Paru Masyarakat sebesar Rp 500 juta yang ditangani oleh Dinas Kesehatan.
Apa yang terjadi di Pekalongan bisa jadi preseden buruk bagi pengelolaan DBHCHT di berbagai daerah lain, khususnya daerah penghasil tembakau. PMK 222 tahun 2017 jelas memberi kepastian hukum pada alokasi untuk JKN. Sebaliknya, tak ada kepastian hukum soal berapa besaran yang akan diterima oleh petani dan stakeholder pertembakauan yang lain.
Selama ini, DBHCHT yang kembali pada petani hanya sekadar pemberian pupuk atau bibit pada awal musim tanam. Tidak banyak hal lain yang dilakukan untuk upaya meningkatkan mutu bahan baku. Tidak pernah ada upaya untuk mengembangkan teknologi pertanian, yang nantinya bisa membantu petani menurunkan beban produksi.
Pemkot Pekalongan hanya menyisakan 20% dari DBHCHT untuk sektor lain. Itu pun dipotong lagi Rp 500 juta untuk sektor kesehatan lainnya. Tidak bisa kita pastikan secara mendetail kemana akan dialokasikan, syukur-syukur kalau sisanya hanya diperuntukkan bagi petani dan pemangku kepentingan lain. Kalau ternyata ada anggaran yang dipergunakan untuk sosialisasi Perda KTR dan hal lain yang kontraproduktif, bagaimana?
Sebenarnya, pengalokasian anggaran DBHCHT untuk kepentingan jaminan kesehatan bukanlah hal yang perlu ditentang. Sah-sah saja jika anggarannya digunakan untuk hal tersebut. Hanya saja, dengan besaran presentase yang mencapai angka 80%, tentu ini bakal membuat hal-hal lain jadi terpinggirkan. Padahal ya, sekali lagi, tanpa ada klausul minimal 50% saja alokasi terbesar tetap buat sektor kesehatan.
Hari ini, petani dan pemangku kepentingan di Pekalongan yang menjadi korban dari PMK yang aneh ini. Bisa jadi, ke depan, akan ada korban dari daerah lain yang akhirnya akan terakumulasi hingga menjadi gelombang perlawanan. Bisa jadi.
- Rokok Lucky Strike, Cigarettes That Always Strike You! - 7 November 2021
- Apa Rokok Paling Enak Versi Perempuan? - 16 October 2021
- Rekomendasi Rokok Enak Untuk Pemula (Bagian 2) - 9 October 2021
Leave a Reply