Press ESC to close

Menteri Perindustrian Sebut Rokok dan Cerutu Sebagai Produk Kearifan Lokal

Industri Hasil Tembakau (IHT) telah menyuguhkan keberhasilannya dalam meningkatkan devisa bagi negara. Keberhasilan itu tentu diharapkan dapat menjadi kabar gembira pula bagi banyak pihak. Walaupun bagi sejumlah kalangan itu tidak selalu dinilai positif. Peningkatan devisa yang didapat dari sektor IHT ini tidak hanya didapat dari pasar dalam negeri. Pula nilai ekspor yang dicapai.

Berdasar pemberitaan yang merujuk data Kementerian Perindustrian, nilai ekspor dari rokok dan cerutu sepanjang 2018 lalu berhasil mencapai US $931,6 juta setara dengan Rp 13,2 triliun. Peningkatan signifikan ini terbilang naik 2,98 persen dibanding tahun 2017 yang sebesar US $904 juta.

Sejak dulu rokok dan cerutu juga dimaknai sebagai bagian dari produk kearifan lokal. Tak heran jika Menteri Perindustrian, Airlangga Hartanto, kemudian menyebutkan, “industri rokok dapat dikatakan sebagai produk kearifan lokal yang memiliki daya saing global.” Pernyataan ini tentu bagi kita konsumen rokok dalam negeri bukanlah hal baru. Terlepas dari data penerimaan negara atas cukai rokok yang mencapai Rp 153 triliun secara keseluruhan pada 2018.

Lebih lanjut yang perlu ditilik adalah terkait apa yang mendasari industri rokok bisa disebut sebagai produk kearifan lokal. Sementara sejumlah pihak yang tak sepaham kerap kali menyinggung industri rokok di Indonesia sebagai salah satu produk warisan penjajah.

Baca Juga:  Pemerintah DKI Jakarta Jangan Latah Membuat Raperda KTR

Perlu menjadi catatan, satu warisan budaya yang merupakan representasi dari kejeniusan masyarakat lokal kita di antaranya adalah kretek. Produk ini bertolak dari penemuan Haji Djamhari yang memadukan unsur cengkeh ke dalam gulungan tembakau, berdasar referensi populer itu terjadi pada akhir abad 18.

Kemudian masuk pada babak industrinya yang dipelopori oleh Nitisemito. Nitisemito memproduksi kretek secara masal dengan skala rumahan. Industri yang terbilang padat karya ini membawa arti bagi kejayaan kretek. Kemudian mendorong bertumbuhnya industri rumahan sejenis dan berkembang di berbagai daerah. Penting diketahui, semua konten kretek tersedia di dalam negeri. Termasuk pula konsumennya.

Selain itu teknologi pengolahan tembakau seperti tembakau Ico misalnya, yang dikenal sebagai ikon dari produk lokal masyarakat Bugis adalah gambaran dari satu kejeniusan masyarakat lokal. Kejeniusan semacam tersebar di berbagai daerah lainnya pula. Jika kita tarik lebih jauh lagi ke masa sebelum munculnya budaya menghisap tembakau. Di Nusantara juga sudah akrab dengan penggunaan tembakau dan sirih serta gambir sebagai bagian dari tradisi. Tradisi itu sudah ada sebelum kita mengenal rokok dan pasta gigi.

Baca Juga:  Tahu Tidak Tercapai, Pemerintah Turunkan Target Penerimaan Cukai Rokok 2023

Gambaran terkait bertumbuhnya industri kretek skala rumahan ini  tidak sekadar bicara soal kejeniusan masyarakat dalam menjawab pemenuhan ekonomi. Namun penting pula dipahami, bahwa industri kretek di negeri kita telah menyuburkan pula nilai-nilai tradisi di masyarakat. Semangat gotong royong di dalamnya pula masih terlihat, seperti halnya yang saya alami di Temanggung pada proses nganjang. Subsidi tenaga harian masih berlangsung. Itu baru antar tetangga sekampung. Belum lagi yang lintas teritori yang menangani proses lainnya. Paling dekat bisa kita lihat dan kita temui sehari-hari sebagai konsumen, yakni masih terselenggaranya kenduri yang menyuguhkan rokok ataupun tembakau sebagai bagian dari suguhan. Kesimpulannya, atas latar sejarah dan budaya di masyarakat itulah argumen yang mendasari kenapa produk IHT disebut sebagai bagian dari produk kearifan lokal.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah