Press ESC to close

Perang Nikotin Di Balik Isu Kesehatan

Gerakan anti tembakau seperti tak kenal lelah menabuh genderang perang terhadap masyarakat pertembakauan. Di tengah santernya penyebaran Covid 19 yang telah ditetapkan sebagai pandemi global, beredar pula pendapat dokter terkait rokok.

Menurut mereka, orang yang memiliki kebiasaan merokok lebih rentan terkena corona virus dibandingkan yang tidak. Bagaimana bisa?

Dalam pandangan mereka, fungsi paru-paru yang turun akibat merokok memudahkan covid 19 untuk masuk. Sementara pengetahuan pada umumnya lebih menekankan cara penularan virus tersebut melalui droplet (tetesan) saat orang batuk atau bersin yang mengenai orang lain. Tanpa memberi penekanan lebih kalau perokok lebih rentan terkena. Semua orang berpotensi terkena jika ada di dekatnya.

Perang melawan tembakau, sejauh ini memang paling efektif digelorakan melalui dunia kesehatan. Dari waktu ke waktu selalu ada perubahan variabel kesehatan, dari mulai kuantitas hingga etnisitas dipermasalahkan.

Awal 1960, orang yang merokok hanya dianggap kebiasan tidak sehat. Sekarang gerakan anti tembakau jauh melangkah maju. Jangankan menghitung berapa kuantitas rokok yang dihisap, perokok pasif pun turut disebut jauh lebih berbahaya.

Implikasinya? Mereka menjadi subyek dalam kampanye tahap lanjut. Orang di sekitar perokok difungsikan untuk dapat menghentikan kebiasaan merokok. Secara data cukup efektif menekan jumlah perokok. Mereka juga menjadi bagian penting dalam mempersempit ruang publik yang digunakan merokok!

Satu dekade lalu, ada artikel kesehatan lansiran The New England Journal Of Medecine yang memaparkan penelitian risiko menderita kanker paru akibat kebiasaan merokok berdasar etnisitas atau rasnya. Hasilnya, etnis Afro-Amerika dan Hawaii, jika merokok memiliki risiko lebih tinggi dibanding orang Jepang, kulit putih, maupun Hispanik yang tinggal di negeri tersebut. Respondennya pun konon jumlahnya sangat besar, 216 ribu orang!

Baca Juga:  Perempuan Merokok Dan Kerentanan Ganda

Dalam disclaimernya, penelitian tersebut tidak dibiayai lembaga mana pun yang rentan menimbulkan konflik kepentingan. Tentu hal tersebut sulit dibuktikan. Dalam praktiknya, kampanye global anti tembakau dibackup penuh oleh perusahaan-perusahaan farmasi raksasa yang punya keinginan memasarkan senyawa semacam nikotin.

Perang nikotin? Ya! Persis yang diungkap Wanda Hamilton dalam bukunya, Nicotin War. Nikotin alami dan buatan ini yang tengah diperebutkan. Sayangnya, perang tersebut meniadakan mekanisme pasar persaingan. Perusahaan yang memasarkan nikotin buatan lebih memilih membenturkannya dengan isu kesehatan publik.

Bagaimana cara mereka menjual produknya? Dengan mengenalkan produk terapi merokok dan produk alternatif pengganti tembakau. Bentuknya seperti apa? Dari permen, tablet hisap, semprotan, dan rokok sintetis.

Apakah kemudian bisa berhenti merokok setelah mengonsumsinya? Sifat adiktif dari nikotin adalah keniscayaan untuk dihindarkan. Peralihan konsumsi nikotin itu yang memang diharapkan sejak awal.

Bagaimana tanggapan lembaga penelitian menyikapi produk-produk tersebut? Seberapa berbahaya produk tersebut? Nyaris tidak terdengar. Mereka hanya fokus terhadap rokok!

Data menunjukkan jumlah perokok secara global persentasenya menurun. Itu ditunjukkan dengan volume penjualan yang mengalami penurunan karena konsumen mengurangi belanja akibat harga yang terlalu mahal, produk alternatif yang semakin banyak, dan keberhasilan kampanye bahaya merokok. Tapi bagaimana bisa risiko penyakit jantung tetap saja bertambah, sementara kebiasan merokok di banyak negara sebagai faktor utama penyebab gangguan jantung justru menunjukkan penurunan?

China, negara besar yang telah menandatangani dan meratifikasi FCTC sejak 2005 disebut tengah berada dalam epidemi kanker paru. Dikutip dari translational lung cancer research, merokok aktif menyumbang 54,7% dari kematian akibat kanker paru-paru di antara pria dan 6,4% di antara wanita.

Baca Juga:  Merokok Sebagai Bentuk Kesalehan Sosial

Dalam riset lain disebutkan juga adanya polusi udara yang mengakibatkan kanker paru. Pertanyaan kritisnya, bagaimana secara presisi menetapkan radikal bebas tersebut berasal dari nikotin atau PM 2.5? Terkait FCTC, bagaimana bisa negeri yang sudah meratifikasi traktat internasional tersebut tidak kunjung dapat menurunkan epidemi kanker paru? Kalau memang benar tujuan FCTC mengampanyekan kesehatan tanpa rokok.

Indonesia sampai detik ini adalah satu-satunya negeri di Asia yang belum meratifikasi FCTC. Harapan masyarakat pertembakauan, negara tidak boleh tunduk pada kepentingan asing. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan jika sampai traktat tersebut diteken, dari mulai hilangnya keragaman tembakau hingga hilangnya penghidupan banyak rumah tangga yang hidup dari tembakau.

Tidak ada satu pun tanaman yang hidup di dunia ini tumbuh tanpa manfaat. Kalau memang mengawatirkan bahaya asap rokok, perkuat riset untuk menjadikannya obat atau produk lain ramah lingkungan. Ini tantangan untuk dunia iptek!

Jangan terus kemudian menghajarnya dengan cukai yang dari tahun ke tahun mematikan industri hasil tembakau. Sementara kontribusi tembakau bersama cengkeh setelah menjadi rokok, cukai dan pajaknya dijadikan primadona kebijakan fiskal. Di kesempatan lain, diharapkan sebagai penambal defisit badan yang mengelola jaminan kesehatan masyarakat.

Haryo Setyo Wibowo

Konsultan Ekonomi Partikelir