Press ESC to close

Harga Rokok Naik, Kesejahteraan Meningkat?

Rokok oleh banyak pihak kerap dicap sebagai momok bagi kesehatan masyarakat. Munculnya upaya untuk mendorong naiknya harga rokok terus pula dilakukan. Sudah bukan rahasia, kalau para pihak ini kerap picik dalam menilai produk tembakau di negerinya sendiri.

Padahal, bukan mereka tidak tahu dampak yang ditimbulkan bila harga rokok terus naik. Namun argumentasi berbasis isu kesehatan hanyalah pemanis belaka, yang seolah-olah membela kepentingan masyarakat. Padahal, jika ditilik lebih dalam tersembunyi agenda dagang yang berkaitan dengan industri kesehatan.

Dorongan untuk membuat harga rokok semakin mahal ini selalu diberi tameng dalil dalil normatif, baik soal perlindungan anak dan perkara gizi keluarga perokok. Sementara asas yang seharusnya diutamakan menyangkut rasa keadilan bagi semua lapisan malah terabaikan dari pembahasan.

Pada konteks kenaikan tarif cukai pada tahun lalu misalnya, Badan Kebijakan Fiskal telah memprediksikan bahwa bakal terjadi pemangkasan tenaga kerja dalam jumlah besar di sektor industri pertembakauan. Sedikitnya memangkas 1,3 % tenaga kerja, atau sekitar 4000 orang.

Tentu bencana tersebut diakibatkan oleh kenaikan tarif cukai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Akibat dari kebijakan ini tak sedikit pabrikan kecil yang terpaksa berhenti beroperasi.

Baca Juga:  Bapak-bapak Merokok Disindir Megawati, Memangnya itu Solusi?

Dari data itu saja dapat ditengarai kemungkinan terburuk selanjutnya ketika harga rokok dibuat naik lagi. Bukan saja dapat mengakibatkan lonjakan angka pengangguran. Di sektor hulu industri, tembakau petani akan semakin tak terserap. Bukan mustahil, kalau kondisi itu akan mendorong gejolak yang cukup serius bagi masyarakat tani.

Sebagaimana kita tahu, petani tembakau sangat bergantung dari pembelian pabrik untuk bahan baku rokok. Dengan tarif cukai yang dibuat naik yang artinya harga rokok tambah mahal, itu justru bukan membawa kondisi ekonomi menjadi pulih dari cengkraman krisis. Lebih jauh negara akan mengalami depresi ekonomi.

Pada kurun tahun ini saja, rata-rata pabrikan rokok sudah melakukan efesiensi dengan pembatasan kuota produksi. Sehingga menimbulkan berbagai keluhan dari petani akibat menumpuknya hasil panen yang tak terserap. Para perokok sebagian besar beralih konsumsi ke tingwe dan rokok murah.

Upaya untuk membuat produk tembakau semakin tak terjangkau oleh konsumen, itu sama halnya membuat negara kehilangan pemasukan terbesarnya. Seperti fenomena yang sudah-sudah, ketika rokok di pasaran semakin mahal biasanya akan melonjak pula angka peredaran rokok ilegal.

Baca Juga:  Apakah Benar Rokok Mild dan Kretek Berperisa Picu Bertambahnya Angka Perokok?

Peredaran rokok ilegal ini tentu saja menjadi bentuk kerugian tambahan yang harus dialami negara. Sudah tidak terpenuhi target penerimaan cukai karena bertumbangannya pabrik rokok, ketambahan lagi harus menanggung kerugian dari peredaran rokok ilegal.

Argumentasi menekan prevalensi perokok akan membuat negara akan mendapatkan bonus terkait kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, itu tak lebih dari mitos belaka. Faktanya tiap tahun dengan naiknya cukai tak lantas menimbulkan peningkatan angka kesejahteraan.

Artinya, segala mitos yang dipaparkan oleh para pihak yang mendorong munculnya tarif baru cukai. Tidak sepenuhnya membawa jawaban konkrit, justru bisa terjadi sebaliknya jika benar-benar cukai dinaikkan lagi, bayangan depresi ekonomi dan gejolak sosial tak terbantahkan.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah