Search
ruu kesehatan

RUU Kesehatan: Soal Pasal Zat Adiktif yang Membunuh IHT

Pembahasan RUU Kesehatan yang berlarut dengan teknik hukum ‘sapu jagad’ adalah solusi palsu belaka. Dapat ditengarai pada Bagian Pengamanan Zat Adiktif di dalam draft RUU tersebut. Ditilik pula pada kesamaan semangat Omnibus Law lainnya. Munculnya UU Sisdiknas dan UU Ciptakerja, dimana proses perencanaan sampai legislasinya dilakukan tertutup, tidak partisipatif.

Di titik ini pula Omnibus Law RUU Kesehatan, alih-alih dibuat untuk menjawab problem krusial kesehatan malah terkesan ‘kerja bongkar-muat’ belaka, kalau tidak mau disebut plug and play. 

Terbukti dengan meminggirkan analisis dampak regulasi serta pengabaian amanat hukum perundangan di atasnya. Yakni UU P3 (Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) dan Putusan MK mengenai partisipasi publik.

RUU Kesehatan justru menghadirkan masalah baru di tengah masalah sebelumnya yang belum teratasi. Pasalnya, ada banyak poin yang mengalihkan independensi Organisasi Profesi (OP), melalui bunyi Pasal 235, tanggung jawabnya tidak lagi otonom. Kewenangannya dialihkan ke Menteri Kesehatan, bargaining power OP dilemahkan di situ. Ini yang terbilang overlapping.

Politik Hajar RUU Kesehatan 

merokok adalah kedaulatan

Secara sederhana, praktik Omnibus Law ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru ketentuan pasal, ayat dan bagian ayat dari berbagai undang-undang yang memiliki kesamaan, dan dirangkum secara satu paket hukum tentang kesehatan.

Namun, pada praktiknya terjadi pengabaian asas keterbukaan, inilah yang sangat disesalkan para pihak, dan menjadi mosi desakan LBH Jakarta terhadap pemerintah atas praktik buruk (Omnibus Law) dalam pembentukan Undang-undang yang berulang.

Sebangun dengan itu, saya sebagai warga perokok menengarai hal senada pada konteks Bagian Kedua Puluh Lima (25), Pengamanan Zat Adiktif Pasal 154-157, menyoroti aturan produk tembakau yang menyasar pada persoalan tata niaga produk tembakau. Ke mana arah tembak Bagian Kedua Puluh Lima ini? Yap menyasar eksistensi IHT (Industri Hasil tembakau), mari kita preteli poin-poinnya.

Pada Pasal 154 ayat 3, yang berbunyi: 3. Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a) narkotika; b) psikotropika; c) minuman beralkohol; d) hasil tembakau; dan e) hasil pengolahan zat adiktif lainnya. 

Mengalami beberapa perubahan frasa dari sebelumnya (d) ‘hasil tembakau’ diubah menjadi ‘produk tembakau’, serta pengubahan frasa ‘sigaret’ menjadi ‘rokok’. 

Termaktub pula dalam Pasal 154 ayat 6: Hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dapat berupa: a) sigaret; b) cerutu; c) rokok daun d) tembakau iris; dan e) tembakau padat dan cair yang digunakan untuk rokok elektrik. 

Diubah menjadi Hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dapat berupa: a) Rokok; b) cerutu; c) rokok daun d) tembakau iris; dan e) tembakau padat dan cair f) Hasil pengolahan tembakau lainnya

Baca Juga:  Jangan Jadikan Rokok Sebagai Bantalan Dari Persoalan Manajemen Pemilu yang Lemah

Adanya pengubahan terminologi ‘rokok elektrik’, pada Ayat 6 itu juga disertai dengan penambahan poin (f), yakni “hasil pengolahan tembakau lainnya”, alih-alih untuk mengakomodir perkembangan adanya produk tembakau lainnya, itu menurut pemerintah.

Nah, di sinilah, isu perang dagang antara rokok alternatif dengan rokok konvensional terlihat mendapatkan konteksnya. Mengingat rokok alternatif non pembakaran, selama ini kerap dimaknai sebagai rokok elektrik. Algoritma pemberitaan menyebut vape sama buruknya dengan rokok konvensional.

Ketika frasa rokok elektrik ini dihapus, maka tafsir terhadap liquid sebagai hasil pengolahan tembakau lainnya untuk memenuhi pasar produk alternatif dapat leluasa diasumsikan penggunaannya. Intinya, terbebas dari kuasa tafsir (algoritma pasar) dan akan leluasa dimainkan memanfaatkan isu kesehatan, mengingat kadar nikotin yang telah distandarisasi memberi kesan kalau lebih rendah berarti lebih aman.

Sebagaimana kita ketahui, penggunaan vape berbasis nikotin cair (liquid) di banyak negara lain banyak dicekal peredarannya dan diatur ketat, meski digadang-gadang meningkat pasarnya.  Namun, banyak kasus menyoroti penggunaan litium pada rokok elektrik. 

Frasa rokok elektrik dihapus, tentu berimplikasi menguntungkan bisnis produk HPTL (Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya) yang investasinya tengah berkembang di Indonesia melalui modal Philip Morris.

Sigaret Menjadi Rokok

rokok di atas kursi

Sementara pada, penggantian frasa sigaret menjadi rokok, hal ini berimplikasi pada berubahnya terminologi yang digunakan dalam golongan produk industri SKM, SKT, SPM. Apa hal substantif dari sisi penggantian frasa ini, kalau bukan  mengarah pada tujuan memainkan nasib Industri Hasil Tembakau (IHT).  Tidak ada urgensinya dong dengan persoalan kesehatan, lebih pada penggantian istilah

Perlu diketahui lagi, tadinya terdapat Pasal 155 yang berbunyi: 1. Hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) yang digunakan untuk kepentingan medis, herbal, farmasi, kosmetik, dan aromaterapi diperlakukan secara khusus. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah

Pasal 155 tersebut kemudian diusulkan untuk dihapus. Dengan usulan dihapusnya Pasal tersebut, bukankah ini semakin meruncingkan kecurigaan publik terhadap fokus pemerintah dan perumus regulasi atas isu rokok dan kesehatan.

Kepentingan siapa sih yang diakomodir di situ? Faktanya, dengan adanya PP 109/2012 yang berinduk pada UU Kesehatan No.36/2009, itu saja telah memukul nasib industri rokok dalam negeri. Ribuan pabrik rokok rebah sejak tahun 2010.

Btw, dulu pasca pemerintahan Soeharto yang berlanjut ke Habibi sudah dirumuskan dewan khusus yang mengatur tentang pertembakauan. Namun, tenggelam oleh kontroversi dan praktik politik yang bermain untuk memonopoli eksistensi pertembakauan Indonesia.

Baca Juga:  Kegilaan Antirokok Memanfaatkan Kematian Orang Lain

Sejak jauh hari saya dan komunitas yang concern pada pelestarian kretek, turut mencermati dan mengkritisi adanya kepentingan kapitalisme farmasi global yang bermain dalam memonopoli kandungan tembakau di Indonesia.

Tembakau sebagai komoditas pertanian yang memberi devisa bagi negara, yang mestinya diatur dan dijamin perlindungannya melalui Undang-undang Pertanian digeser menjadi domain pihak kesehatan.

Sejak tahun 2009, aturan tentang tembakau diatur melalui UU Kesehatan No.36/2009. Di situ saja sudah satu hal yang rancu. Nasib industri tembakau pada akhirnya terus diintervensi paradigma kesehatan, muncul standarisasi kandungan pada nikotin-tar, pembatasan ruang display produk, bahkan perkara ruang konsumsinya pun mengalami diskriminasi.

Ada hubungan RUU Kesehatan dengan FCTC?

Banyak pihak menengarai, sejak masuknya agenda politik pengendalian tembakau global yang menyandingkan isu rokok dan kesehatan, dimana Indonesia menjadi bagian dari peserta FCTC (Framework Convention of Tobacco Control). Desakan global melalui tangan WHO semakin menegaskan intervensi mereka ke dalam regulasi di Indonesia.

Tembakau sebagai komoditas pertanian yang digolongkan sebagai zat adiktif yang perlu diamankan melalui regulasi. Ini saja sudah membuktikan adanya kuasa tafsir yang menggunakan kekuatan politik, yang bermain melalui konsensus kesehatan, sehingga klaim definisi atas tembakau menjadi setara dengan narkotika & psikotropika.

Sebagaimana kita ketahui, persoalan tata niaga tembakau selama ini sudah diatur secara ketat melalui PP 109/2012. Kemunculan produk regulasi ini juga sarat nuansa politis di tengah kontroversi yang menguat, pengesahan PP memanfaatkan momen tak terduga di akhir tahun. Kemungkinan hal serupa terjadi pada pengesahan RUU Kesehatan nantinya. Untuk itu perlu kita waspadai adanya RUU Kesehatan yang tidak partisipatif ini. Kalau Cuma menawarkan solusi palsu, ya bua tapa, toh bikin boros saja. 

Sementara, di tengah persoalan krusial yang dibutuhkan masyarakat terkait jaminan mendapatkan pelayanan kesehatan yang profesional dan tidak diskriminatif. Namun, realitanya masih banyak kasus malpraktik yang berulang dan berlarut, bukti buruknya pelayanan kesehatan. Ini kok pemerintah malah menambah ruwet persoalan dengan memberi solusi palsu berjuluk RUU Kesehatan. Hih.