Press ESC to close

Kekonyolan yang Berulang, Mustahik yang Kedapatan Merokok Dicoret dari Haknya

Isu terkait dicoretnya nama penerima bantuan ataupun zakat yang kedapatan merokok menambah lagi daftar kekonyolan antirokok. Bagimana tidak konyol, rokok dianggap sebagai indikator kemewahan bagi masyarakat miskin. Satu hal yang diskriminatif terus saja terjadi kepada perokok.

Sebagian besar mereka yang membenci rokok selalu saja menilai rokok sebagai produk yang hanya bisa dibeli oleh orang banyak duit. Iya ini semua terjadi sejak isi kepala para pembenci itu percaya kalau orang miskin haruslah terlihat menderita. Terlihat susah tidak mampu beli telepon seluler, tidak mampu beli pulsa pula. Karena hidup mereka hanya diukur sekadar mampu banting tulang demi bisa makan sehari-hari. Singkatnya, orang miskin adalah mereka yang secara ekonomi serba mentok sana mentok sini.

Orang miskin di Indonesia sebetulnya juga punya kekayaan lain. Kekayaan yang bukan hasil manipulasi ataupun money laundry. Memang secara kasat tidak terlihat, justru mereka lebih digdaya dalam hal investasi sosial. Pergi kenduri ke tetangga, ikut kerja bakti di lingkungan, pula membantu temannya yang sedang kerepotan butuh tenaga.

Iya, hal wajar jika dari investasi sosial itu misalnya dia dapat bonus rokok. Yang artinya, rokok bukan melulu barang yang harus didapat lewat membeli. Itulah kekayaan yang belum tentu sama terjadi di kelas masyarakat lainnya.

Baca Juga:  Sejarah Rokok Kretek Indonesia dari Masa ke Masa

Pasalnya memang, rokok tidak pernah dilihat sebagai medium perekat hubungan antar sesama. Bagi mereka yang antirokok, aktivitas merokok masih dipandang sebagai satu indikator kemampuan seseorang dalam hal finansial. Iya wajar sih kalau pembenci rokok melihatnya begitu, karena mungkin mereka tahunya semua kesenangan hanya bisa didapat dari membeli.

Isu bakal dicoretnya penerima zakat alias mustahik yang kedapatan merokok itu beberapa waktu lalu tersampaikan melalui pernyataan Abdul Kohar, Kepala Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Banjar. Yang menegaskan bahwa penerima manfaat, salah satunya fakir miskin yang kedapatan merokok tidak akan diberikan bantuan lagi. Menurut dia, fakir miskin dan warga tidak mampu akan dianggap mampu ketika merokok. Bukan maen. Diskriminatif betul.

Perkara serupa juga pernah terjadi pada medio Juni tahun lalu, yang dinyatakan oleh Ketua Badan Amil Zakat Nasional Kota Bandung, bahwa zakat diberikan hanya kepada warga yang tidak merokok. Sekali lagi kebencian antirokok dalam memerangi perokok kerap bermain menggunakan instrumen agama.

Padahal banyak orang tahu, kalau pemasukan negara juga ditopang dari duit perokok. Dari cukai rokok yang dikenakan per batangnya, bahkan dari duit perokok itu pula persoalan defisit BPJS dapat tertalangi, sampai kepada pembangunan rumah sakit paru termegah di Jawabarat. Duit perokok itu, Bos.

Baca Juga:  Pancasila di Negeri Kretek

Ingat loh, Bos. Mereka yang didiskriminasi oleh Anda itu terbilang pahlawan devisa juga. Jadi tidak bisa seenak perut saja main coret dari penerima manfaat (mustahik) cuma lantaran kedapatan merokok. Kalau logikanya orang yang merokok dianggap orang mampu, lalu bagaimana dengan orang yang super mampu tapi perilakunya koruptif, dan jelas-jelas punya andil utama dalam memiskinkan masyarakat yang digolongkan sebagai orang miskin itu.

Coba itu lihat. Arahkan pandangan ke layar berita. Tak usah pakai kaca mata apapun, cukup dengan mata telanjang saja. Berapa banyak nama sudah yang terbukti merampok uang rakyat sehingga berdampak memiskinkan banyak orang. Coba singgung, apakah mental mereka begitu karena suka merokok? Di luar bejat di dalam penjara belaga alim. Coba yang kayak gitu dicoret juga dari daftar pemeluk agama dong. Sekalian jangan diterima duit bayar zakatnya.

 

Fauzan Zaki

Hanya manusia biasa