Press ESC to close

Bungkus Rokok Akan Dibuat Polosan, Upaya Kemenkes Melampaui Aturan yang Sudah Ada

Isu mengenai bungkus rokok polosan cukup santer terdengar. Pasalnya, setelah PP No. 28/2024 akan terbit Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang bungkus rokok tersebut.

Belum lama ini PP Nomor 28 Tahun 2024 sudah ditekan dan dipastikan akan menjadi penjara bagi Industri Hasil tembakau untuk berkembang. Beberapa aturannya antara lain pelarangan rokok eceran, kemasan rokok SPM wajib 20 batang, ruang merokok yang dipersulit, tidak boleh ada bahan tambahan dalam rokok kecuali sudah diuji, peringatan kesehatan diperbesar menjadi 50%, dan lain sebagainya.

Peraturan itu sudah disahkan tinggal menunggu implementasinya, tapi ternyata Kemenkes masih belum puas. Sebab ada wacana mereka akan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang berisikan agar bungkus rokok dibuat polosan. Sungguh keterlaluan.

Permenkes mencoba melampaui aturan yang sudah ada. Padahal dalam PP No. 28 Tahun 2024 sudah sangat mendetail tentang kemasan bungkus rokok, dari mulai tulisan, gambar, font, peringatan, dan lain sebagainya. Mereka masih saja ingin mematikan Industri Hasil Tembakau. Mematikan hajat hidup orang banyak. Kalau bisa ya secepat mungkin.

Baca Juga:  Memerangi Corona Lebih Penting dari Sekadar Mengevaluasi Perda KTR

Tentu kebijakan itu memiliki dasar bahwa bungkus rokok dibuat polos agar mengurangi prevalensi perokok itu keliru. Padahal dari sekian banyak perokok, mereka sebenarnya tidak mempedulikan bungkusnya. Mereka tidak takut adanya peringatan. Kecil ataupun besar tidak mempengaruhi mereka untuk merokok.

Pun kalau nanti bungkus rokok dibuat polosan, saya kira juga mereka akan tetap merokok, entah mungkin merokok tingwe bahkan rokok ilegal. Jadi sebenarnya upaya Kemenkes untuk membuat bungkus rokok adalah kebijakan yang tidak bijak dan membingungkan.

Bungkus Rokok Polosan, Bungkam Kebebasan Ekspresi?

Dari aturan itu justru mematikan upaya produsen untuk berkreasi dan menunjukan eksistensi dalam bungkus rokok. Sehingga secara tidak langsung kebebasan berekspresi justru dikekang. Memang sial hidup di negara demokrasi tapi segala aturannya penuh dengan pembatasan.

Dari kebijakan ini nantinya justru akan membingungkan para perokok dan juga para penjual. Coba bayangkan kalau bungkus rokok dibuat polosan kemudian dijual, gimana caranya untuk tahu suatu produk A misalnya ketika bungkusnya polosan. Sungguh membingungkan.

Bungkus rokok dibuat polosan juga seolah menganggap bahwa rokok adalah barang yang sangat patut untuk dijauhi. Kemenkes hanya sibuk mengurusi rokok saja karena perkara bungkus turut dibahas secara ugal-ugalan. Masih banyak kok urusan lain yang menurut saya lebih penting daripada hanya sibuk dalam perkara rokok.

Baca Juga:  Karena Perokok adalah Orang-orang Asik

Kalau memang mau mengurangi prevalensi perokok di bawah umur ya lebih baik untuk membeli rokok ada indentitas yang ditunjukan, misal SIM atau KTP. Saya kira itu lebih efektif daripada sibuk menjadikan bungkus rokok menjadi polos.

Toh suka atau tidak suka rokok masih menjadi produk legal. Produk yang turut menopang ekonomi kerakyatan. Produk yang terus memberikan kontribusi walau terus didiskriminasi dan dicaci maki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *