Yang dilakukan pemerintah hingga saat ini bukanlah pengendalian melainkan penghancuran tembakau.
Pernah ngga sih kita mikir adanya pemerintah justru merepotkan kita. Apa-apa dilarang. Disuruh nyari kerja sendiri tapi begitu dapet kerjaan disuruh bayar pajak yang gunanya entah buat apa. Malahan kasus korupsi dimana-mana. Dari bawah sampai atas masyarakat Indonesia sampai capek buat maki-maki kasus korupsi yang ada di Indonesia.
Padahal idealnya pemerintah itu dibuat untuk mempermudah rakyatnya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Pemerintah justru membuat rakyat menjadi sengsara. Berbagai kebijakan dibuat justru tidak memiliki relevansi dan menjadi rakyat hidup makmur dan sejahtera. Regulasi dibentuk untuk menekan. Tapi kalau pas ditanya selalu saja mengelak dan memberikan alasan yang sifatnya berbelit-belit dan normatif saja. Selalu saja mereka cari aman. Sehingga kalau ada apa-apa mereka cuci tangan. Tidak mau disalahkan.
Misalkan dalam Industri Hasil Tembakau, dalam melakukan berbagai kebijakan alasan yang digunakan adalah untuk pengendalian tembakau. Misalkan soal menaikan cukai setiap tahunnya, atau kebijakan mengenai PP 109 tahun 2012, PP Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Permenkes soal Standarisasi Kemasan Bungkus Polos.
Penghancuran terhadap Produk Tembakau
Ada banyak penekanan soal produk tembakau dalam aturan itu. Secara garis merahnya yang awalnya memiliki alasan sebagai bentuk pengendalian justru setelah dipikir-pikir ingin menjerumuskan Industri Hasil Tembakau ke dalam jurang Kematian. Alias semua motif itu merupakan upaya pemerintah dalam melakukan PENGHANCURAN. Miris sekali memang. Padahal Industri Hasil Tembakau memiliki kontribusi yang tidak bisa tanggung-tanggung. Dari berbagai sektor ada. Dari mulai sosial, budaya, hingga ekonomi IHT telah memberikan banyak kontribusi.
Saya tidak asal memberikan statement ini. Buktinya ada banyak. Misalkan saja ada aturan yang mewajibkan beberapa tempat untuk menerapkan Kawasan Tanpa Rokok. Idealnya dalam Kawasan Tanpa Rokok diperlukan ruang merokok yang layak. Sehingga nanti ada jalan tengah antara perokok dan bukan perokok. Hak-hak orang yang merokok maupun tidak harus dipenuhi. Tapi fakta di lapangan justru hak-hak perokok dirampas. Di berbagai banyak tempat, ruang merokok dalam KTR tidak ada. Kalau pun ada acap kali tempatnya tidak layak. Jadi dari situ wajar kalau banyak perokok yang melanggar KTR. Bukan hanya karena kurangnya edukasi melainkan pemerintah tidak memberikan ruang merokok yang layak. Soal ruang merokok yang layak itu gimana, bang? PIKIREN DEWE!! Anda semua digaji kan untuk itu.
Itu baru kasus KTR, contoh lain lagi, mengenai larangan penjualan rokok di dekat satuan pendidikan. Ini merupakan aturan terbaru dalam PP Nomor 28 Tahun 2024. Aturan ini rancunya bukan main. Satuan pendidikan yang dimaksud itu apa? Apakah TPQ di masjid masuk sebagai satuan pendidikan, atau tempat belajar di perkampungan/perkotaan yang sifatnya informal juga masuk bagiannya? Lantas kalau penjual rokok itu lebih dulu dari tempat satuan pendidikan yang mesti dipindah siapa?
Oleh karena itu, makin ke sini kalau dipikir-pikir pemerintah ini bukan melakukan pengendalian terhadap tembakau, melainkan penghancuran tembakau. Sudahlah kita-kita ini muak kalau dibodohi terus-menerus sama bapak-ibu pemangku kebijakan.
- Kita Harus Menghentikan Upaya Penghancuran Kretek - 5 December 2024
- 3 Hal Sederhana yang Bikin Perokok Kesal - 2 December 2024
- Untuk Pemerintah Daerah Baru Nantinya Jangan Keliru Ambil Kebijakan terhadap Industri Hasil Tembakau - 1 December 2024
Leave a Reply