Tembakau linting sebagai siasat hemat dalam merokok kini trennya meningkat. Menurut Ditjen Bea Cukai menunjukkan penjualan TIS naik 16,3% pada periode Januari-September 2022 menjadi 9,37 juta ton.
Golongan TIS (Tembakau Iris Sigaret) yang beredar di pasaran adalah golongan produk legal yang dilinting sendiri oleh penikmatnya ini biasa dikenal sebagai tingwe, alias linting dhewe. Peningkatan tren ini menguat didorong oleh kondisi pandemi serta naiknya harga-harga rokok secara signifikan.
Pandemi Covid-19 telah membuat dunia mengalami guncangan secara ekonomi, bisa dikatakan saat ini dunia tengah mengalami krisis. Tak terkecuali Indonesia. Pemerintah menyebutnya dengan istilah perlambatan ekonomi seturut dengan istilah yang dikemukakan sejumlah pakar lainnya.
Persoalan resesi global ini terjadi dimana tiga kekuatan ekonomi terbesar dunia – Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (EU), dan China – mengalami perlambatan ekonomi. Pihak IMF menyebutkan, ada beberapa faktor utama yang melandasi terjadinya resesi saat ini.
Sebagaimana kita ketahui, adanya perang Rusia-Ukraina yang menimbulkan kenaikan harga energi dan pangan, krisis biaya hidup sebagai imbas dari konflik tersebut dan juga pandemi, serta kebijakan lockdown China yang mengganggu alur perdagangan internasional.
Dengan krisis energi dan terganggunya logistik, otomatis ini akan berakibat terhadap harga barang sehari-hari yang biasa dibeli konsumen, diprediksi pada tahun 2023 akan naik signifikan. Sejak awal tahun 2022, kenaikan harga pangan pun sudah mulai dirasakan masyarakat, disusul dengan kenaikan tarif BBM.
Di tengah kondisi ini, kenaikan pengeluaran yang terjadi tak sebanding dengan kondisi pendapatan masyarakat. Sementara kebutuhan rekreatif dari merokok sudah semakin sulit terjangkau bagi sebagian besar perokok. Daya beli konsumen terhadap rokok reguler menurun secara drastis, perokok banyak yang memilih turun kasta. Salah satunya dengan tingwe.
Seperti yang kita ketahui, sektor IHT (Industri Hasil Tembakau) telah terkonstraksi akibat kenaikan tarif BBM dan kenaikan tarif cukai yang demikian eksesf sejak tiga tahun terakhir. Berdampak langsung terhadap penurunan angka produksi rokok golongan premium. Namun sebaliknya bagi rokok golongan tiga.
Sementara itu, banyak pakar ekonomi menyebut resesi global diprediksi akan mencekik Indonesia pada tahun depan. Banyak sektor bisnis tertentu yang kena imbas langsung. Gejalanya dapat diendus dari angka inflasi tahunan Indonesia yang hampir menyentuh angka 6 persen pada September lalu.
Sejumlah e-commerce dan perusahaan berbasis digital di Indonesia seperti Shopee, JD.ID, LinkAja, TaniHub, dan Zenius baru-baru ini ramai memangkas karyawannya. Ini menjadi sinyal yang patut diwaspadai, begitulah kiranya menurut sejumlah pakar.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani memiliki pandangan yang menyebutkan, bahwa Indonesia berpotensi cukup kecil untuk mengalami resesi ekonomi pada tahun 2023.
Sri Mulyani menyatakan masih surplusnya neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2022 dan terus meningkatnya aktivitas manufaktur sebagai penyelamat Indonesia dari jurang resesi. Kedua faktor tersebut dipercaya menjadi katalis positif bagi perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Menteri yang akrab dengan Bloomberg dalam hal pengendalian tembakau ini tetap pula mengingatkan, bahwa pemerintah tetap waspada dalam mengambil setiap kebijakan moneter dan fiskal domestik untuk menghindari resesi.
Namun konyolnya, Sri Mulyani justru menekan sektor IHT rokok yang tengah terpukul akibat lemahnya daya beli dengan menaikkan tarif cukai rokok untuk dua tahun sekaligus, 2023 dan 2024 sebesar 10 persen.
Perokok mana buntu akal menghadapi naiknya harga rokok, dibanding membeli rokok ilegal yang tidak jelas. Sudah tepat memproduksi rokok secara mandiri. Hal ini dilakukan perokok sebagai alternatif ngebul pada kondisi krisis begini.
Terbukti pula, sejak 2019 lalu bisa kita lihat di banyak kota menjamur kios-kios yang menjual tembakau curah maupun tembakau golongan TIS. Ini salah satu tren yang mestinya dipandang positif bagi kelangsungan ekonomi.
Dari sini menandakan pula, bahwa perokok di Indonesia tergolong adaptif, meski sedang dihantui momok resesi seperti yang disebut banyak pengamat. Pula ditekan oleh mahalnya harga rokok, perokok tetap mampu bersiasat untuk sebats.
Selain itu, bagi konsumen yang tidak punya skill melinting atau tak punya cukup waktu, dapat membayar jasa melinting di komunitas sesama yang menyediakan jasa tersebut. Perokok di Indonesia memang jempolan dalam hal berkontribusi bagi pendapatan negara melalui sektor tembakau.
Bilapun tidak kuat membeli rokok, perokok tetap mampu bersedekah ke negara melalui cukai TIS yang dibeli dari toko tembakau kesayangan di banyak tempat. Hanya pemerintah dan haters rokok saja yang melihat aktivitas merokok selalu negatif.
Faktanya, ekonomi industri tembakau tetap menjadi sumber andalan yang menyelamatkan problem fiskal negara. Positif dong pastinya. Dan satu lagi, negara lain belum tentu sekuat dan seadaptif masyarakat kita dalam menghadapi hantu bernama resesi. Coba itu.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply