Press ESC to close

Kenapa Rokok Disebut Zat Adiktif Padahal Keliru?

Rokok diklaim sebagai zat adiktif karena kandungan nikotin di dalamnya. Akibatnya rokok kerap dituduh menjadi asal muasal berbagai penyakit. Klaim seperti ini dirasa sangat berlebihan dan keliru karena zat nikotin sendiri ada di beberapa bahan makanan lainnya, termasuk sayuran.

Sebagai yang paling peduli pada pola ‘hidup sehat’, harusnya anti rokok juga melihat adanya potensi zat adiktif dalam sayuran. Misal, kembang kol yang mengandung nikotin 3,8 gram, terong 100 gram, kentang 15,3 gram sedangkan kulitnya 4,8 gram, tomat mentah 42,8 gram sedangkan tomat matang 4,1 gram.

Artinya kandungan nikotin yang selama ini dibilang zat adiktif ternyata juga ada pada makanan. Lagipula fungsi dari nikotin adalah untuk mengaktifkan hormone dopamine (hormon bahagia) sehingga lebih rileks. Pada titik tertentu, endhorphine berfungsi setara dengan obat penghilang sakit kepala.

Sayangnya, pengetahuan ini sudah dibabat habis oleh kampanye anti rokok bahwa nikotin adalah zat adiktif yang sangat berbahaya, sampai-sampai kritisisme soal rokok hilang di masyarakat. Yang paling antagonis, sampai menimbulkan sikap diskriminasi terhadap perokok.

Baca Juga:  Mengapresiasi Realisasi Pengadaan Ruang Merokok di Malang

Hal lain yang ikut memasifkan stigma ini adalah regulasi. Yap, tanpa adanya regulasi yang mengatur, KTR tidak bisa di jalankan. Saya heran, mengapa ya tetek bengek soal tembakau diatur UU Kesehatan? Sebagai negara penghasil tembakau dengan kualitas terbaik, bukannya harusnya memaksimalkan potensi negaranya bukannya menstop atau melarangnya.

Saya juga ngelihat kalau regulasi yang ada seperti pembatasan produksi tembakau ini sangat labil dan tidak tegas, kalau mau dilarang ya dilarang saja sekalian tapi kalau tidak ya jangan mengkambing hitamkan rokok dong. Ya saya tahu kalau pisah sama pemasukan dari rokok senilai triliunan memang berat, belum lagi pemasukan dari sin tax cukai.

Rokok sebagai zat adiktif tak lepas dari klaim anti rokok yang ingin menguasai pasar nikotin sehingga dapat dibuat dengan bentuk yang berbeda seperti liquid pada rokok elektrik. Hal ini bisa dilihat dari kampanye rokok elektrik sebagai sarana awal berhenti merokok. Tidak masuk akal bukan?

Padahal berhenti merokok bukanlah suatu yang sesulit dicitrakan kelompok anti rokok, kalau mau berhenti ya tinggal berhenti. Contohnya di bulan romadon yang sekarang ini, kita pasti akan berhenti merokok saat puasa karena kita tahu kalau merokok dapat membatalkan puasa.

Baca Juga:  Panen Tembakau Sukapura di Masa Kenormalan Baru

Merokok adalah soal pilihan dan kebiasaan tetapi dibalik itu ada kontrol terhadap diri sendiri dan itu berjalan otomatis, karena manusia dirancang untuk dapat merasakan batasan tubuh dalam mengkonsumsi sesuatu, prinsip ini berlaku juga untuk hal lain ya. Misal indomie bisa jadi candu bagi pecinta indomie, duren bisa jadi candu bagi pecinta duren dan seterusnya.

Alma'a Cinthya Hadi

Pejalan kaki