Press ESC to close

Jeritan Petani di Balik Kebijakan BBM dan Cukai Rokok

Imbas kenaikan BBM per 3 September lalu kian menambah beban ekonomi masyarakat dan menimbulkan jeritan petani. Terutama di sektor tembakau. Para petani daerah Kabupaten Bandung Barat menyampaikan keadaan nasibnya yang jauh dari kata menguntungkan.

Sebagaimana harga yang berlaku dari kenaikan BBM untuk Solar menjadi 6.800, Pertalite menjadi Rp 10.000, dan Rp 16.500 untuk Pertamax. Hal ini menambah beban produksi bagi sektor usaha manapun. Tak terhindarkan. Mengingat semua sektor ekonomi membutuhkan bahan bakar minyak setiap hari, belum tergantikan.

Kondisi ini sangat berat dirasakan bagi masyarakat ekonomi bawah yang hidup dari rantai pasok industri dan perniagaan di pasar. Dalam konteks yang kita soroti ini ialah masyarakat penyedia bahan baku rokok. Mereka adalah para petani yang tak hanya mengandalkan pembelian dari pabrikan, kerap pula menjual hasil panen langsung ke pasar.

Di Kabupaten Bandung Barat sendiri terdapat di enam wilayah, Kecamatan Cililin, Cipongkor, Gununghalu, Ngamprah, Rongga dan Sindangkerta. Sebagian besar masyarakatnya hidup dari sektor pertanian. Tembakau adalah salah satu komoditas menguntungkan bagi para petani tembakau di daerah tersebut.

Pada kondisi saat ini, tak terelakkan beban biaya transportasi kian membengkak akibat kebijakan BBM yang ditetapkan pemerintah dengan mengalihkan subsidi ke dalam bentuk BLT. Kenaikan harga BBM ini sudah barang tentu berimbas pada inflasi pangan, kenaikan harga-harga konsumsi masyarakat, serta bahan-bahan pokok lainnya.

Harga bahan bakar minyak ini merupakan persoalaan utama yang memicu naiknya harga berbagai mata rantai kebutuhan. Beban biaya hidup jelas terasa semakin memberatkan masyarakat yang semua harga kebutuhannya melonjak naik. Di sisi ini, tentu saja berkontribusi pada melemahnya daya beli dan berimbas nantinya bagi target penerimaan.

Dari sisi petani tembakau, beban biaya transportasi untuk pengantaran tembakau dari ladang ke pasar telah mengurangi angka pendapatan yang diterima. Mengingat lagi harga jual tembakau tidak mudah diubah begitu saja.

Seperti yang dikeluhkan oleh Dedi Sutarya (40), petani asal Desa Cimanggu, dimana harga tembakau yang dijualnya di pasar mengikuti harga kesepakatan dengan konsumen. Tidak mengacu pada harga jual tembakau kemasan maupun harga jual pabrikan.

Baca Juga:  Kretek dan Cita Industrialisasi Indonesia (Bagian 2)

Tembakau rajangan yang dijualnya masih di kisaran Rp35.000 sampai 50.000, angka harga ini tentu saja jauh dari kata menguntungkan. Bisa dibayangkan jika ditilik dari beban produksi yang harus ditanggung.

Kita tilik mulai dari biaya tanam dan perawatan, ditambah biaya panen dan transportasi. Belum lagi biaya hidup sehari-hari. Jika dibandingkan dengan harga jual saat ini, jelas jauh dari kata menguntungkan. Apalagi sejak pupuk subsidi tidak lagi bisa diakses.

Sebagaimana yang kita ketahui, kebijakan untuk pupuk subsidi dari golongan ZA, SP 36, organik granula telah dicabut oleh pemerintah. Petani harus membeli pupuk dengan harga non subsidi sejak Juli yang lalu.

Kebijakan yang tidak bijak ini salah satu pula yang menjadi kritik kita terhadap kinerja pemerintah, dari sisi ini pemerintah tidak lagi berpihak kepada petani. Pemerintah secara beruntun mencabut aspek subsidi yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Dengan dicabutnya subsidi untuk kebutuhan yang sangat penting di masyarakat, bisa dikatakan, pemerintah kian berpaling dari semangat Nawacita yang menjadi jargon pembangunan ekonomi. Ditambah lagi, ekonomi masyarakat pasca pandemi belum bisa dikatakan pulih benar. Pemerintah justru mengambil langkah yang membebani rakyat.

Kondisi yang sulit saat ini ditambah pula dengan rencana pemerintah menaikkan lagi tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk tahun depan. Rencana ini jelas menjadi gambaran yang menambah beban bagi kehidupan masyarakat yang hidup dari sektor riil. Petani adalah soko guru bangsa ini, profesi yang berada di garda depan ekonomi, pihak penyedia bahan baku yang dibutuhkan sektor konsumsi masyarakat.

Jika kehidupan mereka dibebani dengan naiknya harga BBM, kenaikan harga pangan dan naiknya cukai rokok, dalam konteks ini pemerintah seperti ingin membunuh masyarakat secara pelan-pelan. Kondisi ini bertentangan dengan jargon-jargon yang dikampanyekan pemerintah dalam hal pembangunan ekonomi.

Kita pakai logika sederhana saja, ketika cukai rokok naik, ini akan menambah beban produksi bagi industri. Otomatis ini akan berpengaruh terhadap permintaan tembakau sebagai bahan baku yang dibutuhkan pabrikan. Menimbulkan efek domino terhadap harga jual tembakau anjlok di bawah harga rata-rata.

Baca Juga:  Alasan Kenapa Rokok Ilegal Marak di Indonesia

Jika bahan baku dinaikkan harganya, pabrikan tentu akan mencari yang lebih murah. Tembakau murah biasanya dari golongan grade rendah. Demikian pula tembakau linting yang dibeli langsung oleh konsumen dari petani. Tidak akan signifikan membuat harga tembakau jadi menguntungkan, sementara biaya hidup terus bertambah. Inilah yang akan menjadi penderitaan di masyarakat tani.

Kenaikan cukai rokok akan berakibat pada turunnya daya beli perokok. Perokok tentunya akan mengambil siasat hemat untuk tetap bisa ngebul, di antaranya dengan membeli rokok tak bercukai alias ilegal. Kondisi semacam ini salah satu gambaran kerugian yang juga dihadapi pemerintah.

Jika memang pemerintah berpihak terhadap sektor riil sebagai penopang target pembangunan ekonomi. Maka, variabel kesehatan yang selama ini menjadi dalih kenaikan cukai jangan lagi dijadikan modus. Sebagaimana yang kita tahu, isu kesehatan kerap kali dijadikan bantalan untuk menaikkan tarif CHT, sehingga harga-harga rokok pun ikut naik dan melemahkan daya beli konsumen.

Di dalam kondisi seperti sekarang ini, pemerintah harus berlaku akomodatif agar masyarakat dapat lepas dari persoalan ekonomi yang memberatkan. Setidaknya, ketika subsidi BBM dialihkan ke BLT, subsidi pupuk janganlah dicabut, dan cukai rokok janganlah dikerek sangat tinggi. Pemerintah harus mempertimbang daya jangkau masyarakat.

Variabel keterjangkauan ini yang harus jadi pijakan pemerintah, jika tidak ingin depresi ekonomi dan gejolak sosial meningkat. Untuk menaikkan tarif cukai rokok, pemerintah juga harus mempertimbang angka inflasi saat ini.

Jika beberapa variabel penting ini tidak digubris, ya wasalam. Intinya, pemerintah harus peka dan berempati dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat atas imbas dari kebijakan yang dikeluarkannya. Jika tidak, maka pemerintah telah gagal mewujudkan amanat kesejahteraan yang menjadi visi kehidupan bernegara.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *