Search
batang rokok

Beragam Cara Pemberantasan Rokok Ilegal

Kreativitas adalah kemampuan mencipta sesuatu yang baru. Demikian pula dalam upaya pemberantasan rokok ilegal. Wayang orang menjadi medium sosialisasi tentang rokok ilegal di Kota Semarang. Kegiatan sosialisasi berbalut seni tradisi ini diprakarsai oleh Pemerintah Kota Semarang bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Budaya di Kota berjuluk Kota Lumpia itu.

Wayang orang yang digunakan sebagai sarana untuk menggugah masyarakat ini jelas bukan hal baru. Mungkin sesuatu yang dianggap baru dan cukup menyentuh perhatian masyarakat lantaran seni wayang orang ini merupakan pertunjukan yang jarang terjadi.

Jika ditanya dari mana pembiayaan gelaran tersebut, sudah bisa kita tebak berasal dari DBHCHT yang berdasar Peranturan Menteri Keuangan No.2/PMK.07/2022, porsi alokasi untuk Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 879.960.580, sementara Kota Semarang sendiri mendapat porsi Rp 9.787.182.

Kegiatan sosialisasi yang mengacu pada slogan berantas rokok ilegal ini tentu saja cukup menarik perhatian. Apalagi jika ditilik level seni yang tergolong seni rakyat ini, banyak diminati oleh kalangan bawah. Sejurus dengan target segmen yang disasar oleh penyelenggara.

Namun, bagi kami yang tergolong menilai dari kejauhan. Kegiatan semacam ini terbilang lebih smooth dibanding dengan cara merazia rokok ilegal yang biasanya dibarengi sosialisasi. Jika ditanya cukup efektif atau tidaknya, jelas jauh dari kata efektif.

Mengingat lagi akar persoalan dalam konteks maraknya peredaran rokok ilegal ini lebih disebabkan oleh adanya kebijakan cukai. Mestinya, jika Pemkot Semarang mau lebih bisa dikatakan punya keberanian, karena bicara soal kreativitas juga sesuatu yang didasari keberanian. Maka, cara yang terbilang baru adalah dengan menyurati Kementerian Keuangan dan Presiden Jokowi.

Tentu dengan isi surat yang lebih mengedepankan pandangan kritis, bahwa ada akar persoalan utama dari maraknya rokok ilegal jika memang ingin dituntaskan. Yakni terkait kebijakan cukai yang setiap tahun tarifnya naik dan berimbas pada para pelaku usaha golongan modal kecil.

Baca Juga:  Betapa Naifnya Antirokok yang Merayakan HTTS

Dari sisi ini, artinya, pihak Pemkot memahami betul persoalan konkret dari munculnya pasar rokok ilegal. Bahwa ketika tarif cukai naik, otomatis beban produksi pabrikan bertambah. Apalagi dari tahun ke tahun angka kenaikan melampaui kewajaran, alias jauh dari angka keterjangkauan.

Jika pungutan pajak dan cukainya saja bisa sampai 70% per bungkus rokok, maka pabrikan kecil akan merasa keberatan. Tentu mereka akan melihat yang lebih menguntungkan adalah dengan memangkas beban cukai yang harus disetorkan ke negara.

Namun, tentu saja usulan ini menuntut keberanian yang lebih jika harus dilakukan di level Kepala Daerah. Mengingat, mereka hanyalah bawahan dalam hirarki politik yang selama ini berada di luar perumusan terkait kebijakan cukai.

Hak untuk kritis bukanlah pilihan yang relatif mengancam posisi karir seorang Kepala Daerah. Mana ada sih atasan yang mau dikritisi, atau bahkan bisa jadi dianggap didikte oleh bawahan. Maka cara yang aman ya, jangan kritisi kebijakannya, cukup jalankan yang realistis asal anggaran terserap, itu sudah.

Ya, untuk menjadi Hanoman seperti yang ada dalam cerita wayang orang tersebut, tentu saja Pemkot membutuhkan nyali lebih, untuk tidak membilang kesaktian khusus dalam menyadarkan kelaliman rezim cukai.

Sebagaimana kita ketahui, kenaikan cukai setiap tahun sudah bisa dipastikan akan dibarengi dengan maraknya peredaran rokok ilegal. Setiap tahun, selalu pula ada alokasi penegakan hukum yang sudah diatur berdasar beleid yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan.

Dari fenomena rokok ilegal, kita dapat menengarai adanya kebuntuan pemerintah untuk akomodatif terhadap nasib industri rokok dalamm negeri. Setiap tahun angka peredaran rokok polosan ini sulit ditekan.

Maraknya rokok tanpa cukai yang beredar di pasaran selalu tak pernah tuntas diberantas dari tahun ke tahun. Hal ini sekali lagi lantaran pungutan cukai sebagai instrumen fiskal juga dijadikan sebagai instrumen pengendalian konsumsi rokok. Ini jelas bertentangan dengan target yang didasarkan juga pada penerimaan negara dari sektor IHT.

Baca Juga:  Pencopotan Jabatan Bagi ASN yang Merokok Tanda Pemerintah Tak Paham Aturan

Sementara jika kita tilik berdasar faktanya naiknya tarif cukai rokok setiap tahun selalu di atas angka keekonomian. Dalih pemerintah atas kenaikan tarif CHT ini selalu berulang, terkait penerimaan dan pengendalian konsumsi. Hanya pada 2014 dan 2019 tidak terjadi kenaikan tarif CHT. Kenaikan cukai rokok tertinggi pada 2020, mencapai 23 persen. Pada 2022 naik 12%.

Sepanjang semester I/2022, kenaikan cukai telah berimbas pada menurunnya produksi rokok hingga 4,8% dibandingkan pada semester I/2021. Kemudian, pemerintah memberi sinyal kenaikan CHT untuk 2023 bakal lebih tinggi di atas 12%, digadang-gadang kenaikan ini sejalan dengan naiknya pertumbuhan ekonomi di atas 5%.

Faktanya, pada 2020 usai pemerintah menaikkan cukai rokok, terjadi peningkatan rokok ilegal 4,9%. Lebih tinggi dibanding 2019 yang hanya 3%, tercatat sebanyak 5.774 kali penindakan rokok ilegal. Padahal, target pemerintah akan menekan rokok ilegal di bawah 3%.

Berdasar data DJBC sepanjang 2021, tercatat sebanyak 4.314 kali penindakan rokok ilegal. Sementara, pada ssemester I 2022, tercatat terlaksana 7.666 kali penindakan. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan pasar rokok ilegal, artinya tidak sebangun dengan dalih yang digembar-gemborkan pemerintah. Jadi, soal alternatif sosialisasi dan upaya memberantas rokok ilegal melalui wayang orang ya tak lain agar anggaran DBHCHT terserap saja sesuai peruntukannya.