Indonesia berbeda dengan Negeri Kanguru, Australia untuk urusan pengendalian tembakau. Indonesia tidak akan meratifikasi FCTC.
Kalau kita berbicara mengenai pengendalian tembakau rujukan yang biasa digunakan adalah Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Secara garis besarnya, FCTC merupakan perjanjian internasional yang digagas oleh WHO dalam menekan pengendalian tembakau. Dalam buku Wanda Hamilton yang berjudul Nicotine War adanya FCTC memiliki motif dagang dari para pedagang obat. Ringkasnya tembakau ingin digantikan dengan obat-obatan kimiawi untuk tujuan mencari keuntungan.
Sayangnya berbagai negara sudah banyak yang mengamini alias menandatangani FCTC. Indonesia hingga saat ini masih belum dan semoga saja tidak akan meratifikasi FCTC. Kalau sampai FCTC ini diterapkan, ibaratnya membeli rokok akan satu level seperti membeli narkoba. Miris sekali bukan.
Tapi walaupun belum meratifikasi FCTC, pemerintah Indonesia ini cenderung licik. Mereka turut mengadopsi pasal-pasal yang ada di FCTC. Tujuannya adalah untuk pengendalian tembakau. Dari mulai menaikan cukai secara berkala, memperketat Kawasan Tanpa Rokok, melarang iklan rokok, dan sebagainya, dan sebagainya. Pun yang paling mutakhir ini adalah dengan membuat Rancangan Permenkes mengenai standarisasi kemasan rokok wajib polos.
Kebijakan itu sebenarnya sudah banyak yang menolaknya. Dari mulai asosiasi buruh, pengusaha, petani, stakeholders kretek, jajaran kementerian dan lain sebagainya. Tapi dari Kemenkes masih bersikukuh untuk mengesahkan aturan ini.
Indonesia Beda dengan Australia
Dari kalangan anti rokok, dalih yang digelodorkan agar pemerintah segera mengesahkan ini adalah meniru negara maju, sebut saja Australia. Negara ini memang telah menerapkan aturan kemasan wajib polos, di sana juga produk tembakau cukup dikendalikan sedemikian rupa. Tapi pertanyaan, apakah Indonesia perlu atau harus meniru Australia dalam urusan pengendalian tembakau.
Sebelum ke pengendalian tembakau, kalau meniru hal-hal bagus seperti infrastruktur, gaji, kesejahteraan masyarakat itu sudah tentu banyak yang mendukung. Tapi masalahnya, Indonesia ini ingin meniru soal pengendalian tembakau. Padahal kondisi sosiologis, geografis antara Indonesia dengan Australia itu jauh berbeda. Australia tidak memiliki kepentingan atas Industri Hasil Tembakau. Tidak sama seperti Indonesia.
Di Indonesia sendiri, jutaan petani menggantungkan hidupnya dari sektor tembakau, cengkeh, dan rempah-rempah lain dalam rokok. Sedangkan di Australia tidak!!. Jutaan petani ini sulit bahkan banyak yang tidak bisa beralih ke tanaman lain selain tembakau. Sebut saja misal di Temanggung dan Wonosobo. Ribuan orang bermata pencaharian sebagai petani tembakau. Untuk ganti komoditas lain tidak bisa. Karena hanya tembakau yang mampu bertahan.
Itu baru membicarakan petani tembakau. Belum petani cengkeh dan rempah-rempah lain yang ada dalam rokok. Dalam segi tenaga kerja yang lain banyak orang juga menggantungkan hidupnya dari sektor Industri Tembakau. Misalnya soal buruh rokok. Ada jutaan buruh rokok yang ada di Indonesia.
Kalau misal tembakau terus ditekan bagaimana nasib mereka semua? Sedangkan sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini lapangan pekerjaan sangat sulit. Pemerintah tidak pernah serius dalam menciptakan lapangan pekerjaan.
Kondisi di Australia jauh berbeda dari Indonesia. Jadi jangan dibanding-bandingkan antara Indonesia dan Australia dalam urusan pengendalian tembakau.
- Kita Harus Menghentikan Upaya Penghancuran Kretek - 5 December 2024
- 3 Hal Sederhana yang Bikin Perokok Kesal - 2 December 2024
- Untuk Pemerintah Daerah Baru Nantinya Jangan Keliru Ambil Kebijakan terhadap Industri Hasil Tembakau - 1 December 2024
Leave a Reply