Press ESC to close

Kretek: Berjihad dengan Kata

“Apaaa??? Cowokmu merokok ya, sayang??!! Oke, kalo gitu Papa gak mau nikahin kalian!!”
“Duuuh, Papa, Papa salah duga. Boy nggak merokok. Dia meng-kretek.”
“Oooh….,” Papa manggut-manggut. “Maaf Papa asal nuduh. Oke kapan waktu ajak dia makan malam ke rumah, ya.”

***

Sejak kejayaan Renaissance, Eropa menggenggam tongkat kuasa. Maka, pelayaran dijalankan, kedigdayaan dikibarkan, ilmu pengetahuan diadu dalam setiap benturan. Ujung cerita, Eropa tak cuma jaya dalam keangkuhan teknologi maupun penguasaan benua-pulau-lautan dengan kolonialisme, namun juga kuasa dalam pengetahuan.

Dalam kegagahannya, pengetahuan Barat lambat laun tumbuh menjadi gergasi yang congkak. Bermula dari pencerahan, berkembang—lagi-lagi—jadi praktik penguasaan. Benar, ketika pengetahuan berkembang menjadi peranti pembuat definisi-definisi, klasifikasi-klasifikasi, sesungguhnyalah yang terbangun adalah tirani. Sebab, saat seisi dunia mengambil Eropa dan kuasa pengetahuannya sebagai kiblat setiap ritus kesarjanaan, definisi tadi kembali ke wujud asli, menjadi standarisasi. Sehingga, mana yang ilmiah dan mana yang tidak ilmiah, mana yang sehat dan mana yang tidak sehat, bahkan mana yang baik dan mana yang buruk, diam-diam ditentukan sepihak oleh Barat.

Ambil sejumput contoh. Kita mengenal padi sejak ribuan tahun silam. Padi, dalam percakapan sepanjang musim di petak-petak sawah, akan maujud ke dalam padi mentikwangi hingga rojolele. Tapi, di bangku sekolah, semua disederhanakan menjadi satu nama yang membikin gatal telinga: Oryza Sativa. Tentu saja bahwa rojolele dan mentikwangi adalah varian di bawah kelas spesies, sehingga bangku sekolah dasar belum mengajarkannya. Tapi, yang membuat bulu kuduk merinding, kedua nama yang lazim kita dengar di warung-warung sembako itu dengan bengis dicemplungkan ke dalam kotak gelap: nama tidak ilmiah. Lalu, siapa yang berhak menentukan sesuatu ilmiah atau tidak ilmiah? Apakah tradisi ribuan tahun kalah ilmiah dengan temuan Carolus Linnaeus?

Dikotomi modern-tradisional, itu soal lain lagi. Serbuan meriam dikotomi ini menyelusup ke segala sendi dan lipatan-lipatan kebudayaan. Dari seni, institusi, hingga pengobatan. Apa yang disebut seni modern adalah seni adaptasi dari Barat. Kuda lumping dan debus distempel sebagai kesenian tradisional. Institusi pengadilan yang dijiplak dari kolonial Belanda, disebut pengadilan modern, sementara, mekanisme yang dijalankan oleh entitas-entitas adat disebut cara-cara tradisional. Jamu pun senasib. Ia digolongkan pengobatan tradisional, padahal obat berbahan kimia perusak tubuh yang diberondongkan tanpa henti oleh industri farmasi diklaim sebagai bagian dari pengobatan modern. Masih mending kalau modern-tradisional sekedar kategori. Tapi nyatanya tidak, keduanya adalah stratifikasi. Cih!

Baca Juga:  Review Rokok Sampoerna Avolution, Bungkus Baru Lebih Asik?

***

Kini, di kampung Paman Obama, kretek sedang menjalani nasib serupa. Sedang diklasifikasikan, dikategorikan, dan diberi definisi-definisi. Rokok cengkeh, digolongkan oleh tauke-tauke dagang di tubuh pemerintah Amerika Serikat sebagai flavoured ciggarette, rokok beraroma. Sementara, kata mereka, rokok beraroma jauh lebih berbahaya dibanding rokok putih koboi Amerika. Itu belum vonis-vonis puluhan tahun sebelumnya, bahwa rokok cengkeh mengandung tar dan nikotin jauh lebih tinggi dibanding rokok putih. Maka, di tengah slogan-slogan WTO yang setinggi kahyangan menjunjung kebebasan pasar, kini kretek dihadang. Ekspor dilarang. Konsumsi ditentang.

Kategorisasi sedang dimaksimalkan fungsinya, sebagai artileri paling eksplosif untuk sebuah perang perdagangan…

Sudah tentu, para pedagang yang mengangkangi lembaga-lembaga pemerintahan Amerika itu berkongsi dengan siapa saja. Otoritas kesehatan, salah satu garda depan kuasa pengetahuan Barat, memegang kunci terkuat. Berawal dari kategori, melangkah menuju stratifikasi, dan berujung pada eksekusi. “Rokok Indonesia itu, rokok negeri miskin itu, rokok sampah itu, adalah penyebar penyakit ke penjuru dunia.” Begitu kira-kira ucapan mereka.

Jalan cerita mengantarkan pada titik kulminasi. Regulasi-regulasi anti-rokok yang disusupkan oleh mega-korporasi penguasa dunia dijejalkan ke kota-kota. Rokok digencet, dihancurkan, petani tembakau lokal non-Virginia dibabat hingga bertumbangan. Di setiap sudut mata, kita pun bisa membaca tulisan itu terpampang besar-besar: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN.

***

Kuba, negeri yang menyimpan kisah pertahanan habis-habisan pada gempuran negeri-negeri utara, punya lain cerita. Regulasi anti-rokok masuk pula ke sana. Tapi konon, setumpuk peraturan di sana tak mampu menggoyang konsumsi maupun industri benda penanda martabat dan eksistensi mereka: cerutu. Ya, cerutu identik dengan Kuba, sebagaimana Kuba identik dengan cerutu. Rakyat Kuba tak bisa lepas dari cerutu, sebagaimana pemerintahannya pula, yang—meski tampak kacau-balau dalam citra media—berhasil memancangkan infrastruktur yang tak terbeli: harga diri.

Lalu, kenapa cerutu tak tergoyang regulasi anti-rokok? Jawabannya, karena cerutu bukan rokok! Demikian rakyat Kuba menjawab dengan lantang.

Di sini, kretek kembang kempis. Tak cuma gagal menembus barikade kebijakan sepihak Amerika yang menolak ekspor kretek ke sana, di Indonesia pun, di tanah kelahiran kretek sendiri, rokok cengkeh ini dihantam bertubi-tubi. Tak cuma kalangan penikmat kretek yang rugi, tapi juga buruh, petani, serta industri. (Asal tahu, lebih dari 80% hasil pertanian tembakau Indonesia diserap ke industri dalam negeri sendiri, sementara sebagaian besar konsumsi juga diambil konsumen di kampung halaman sendiri). Ironisnya, hanya segelintir rakyat Indonesia yang mau repot-repot memahami, bahwa rokok kretek bagi Indonesia tak bedanya dengan cerutu bagi Kuba! Ya, selain rokok kretek menjadi tulang punggung perekonomian nasional Indonesia, kretek yang ditemukan racikan awalnya oleh Haji Djamhari di Kudus pada sekitar akhir abad 19 itu, tidak ditemukan maupun dibuat di negeri-negeri lain. Bahkan hingga kini, rokok kretek tak diproduksi di negeri-negeri lain. Harap dicatat tebal-tebal, bahwa kretek tak kalah dengan batik, kopi luwak, jamu, keris, tari saman, reog, lagu Rasa Sayange…

Baca Juga:  Mengapa Perokok Sulit Menemukan Rokok Inter di Jakarta?

Kretek adalah karya asli tangan-tangan dingin anak bangsa. Kretek adalah warisan budaya asli Nusantara. Lalu, bagaimana bisa kita akan menepuk dada berbangga hati, bila berbuat sesuatu untuk sebuah kekayaan sejarah diri sendiri pun kita tak sudi?

Jangan membayangkan kita mesti melakukan aksi-aksi advokasi di meja-meja pengadilan yang lembab, atau turun ke jalan. Biarlah, perusahaan-perusahaan, serikat buruh, maupun aliansi petani akan mengambil bagian di sana. Tapi, siapa pun anak negeri ini bisa turut andil dalam sebuah aksi penyelamatan sebuah heritage tak ternilai, hanya dengan satu aksi sederhana: mulai sekarang, tak perlu menyebut kretek sebagai rokok kretek! Rokok adalah klasifikasi bentukan Barat, padahal kita punya definisi dan identitas sendiri terkait kretek. Sebut kretek sebagai kretek, bukan rokok. Tak perlu kita membeo mengenaskan pada regulasi-regulasi pembunuh yang dihasilkan otoritas kesehatan Barat, yang dengan semena-mena menyebut kretek kita hanyalah varian rokok. Biarkan mereka dengan rokok mereka, dan kita akan berdiri gagah dengan kretek kita! KRETEK BUKAN ROKOK, KRETEK ADALAH KRETEK.

Dan, bila 250 juta rakyat Indonesia mau melakukannya, hohoho, bayangkanlah suatu hari percakapan di pembuka tulisan ini menjadi realitas dalam obrolan sehari-hari.

Iqbal Aji Daryono
Latest posts by Iqbal Aji Daryono (see all)

Iqbal Aji Daryono

Sopir truk, sementara ini ngekos di Perth, Ostralia. Bisa ditemui di akun Fesbuk-nya.