Press ESC to close

Korek Api Perokok dan Pertanyaan Sepele

Apa yang punah dari perabotan dapur ‘kita’ (baca: Indonesia) untuk mengukus nasi hari ini? Jika Anda segera menyebutnya adalah langseng. Tak ayal Anda orang yang punya perhatian terhadap artefak budaya, niscya Anda akan teringat juga perabotan lain yang terancam punah dari dunia sambal kita. Yap. Cobek-ulekan, juga tempayan.

Sejak magic jar, blender, microwave hadir mengubah kerja budaya pada dapur kita, bahkan kompor gas yang dengan segera mengusir keberadaan korek api dari kehidupan memasak. Dari situlah pemutakhiran telah mencerapkan suatu konsekuensi baru menuju alamat baru, ke mana bersuaka perabotan tradisonal kita hari ini? Tentu kita sudah bisa menebak nasibnya tak lain kini menjadi artefak budaya di museum dan pasar antik. Lalu bagaimana nasib kompor gas, ketika di masa datang manusia modern hanya cukup menelan satu pil padat gizi untuk hidupnya sehari-hari. Faktanya hari ini di masyarakat yang miskin waktu lebih memilih junk food dibanding menyisihkan waktu untuk mengolah panganan sendiri.

Bukankah pemutakhiran dari lingkup dapur jelas membawa dampak terhadap ‘pencernaan’ kita? Di sinilah akal sehat dipertanyakan kembali.

Okelah. Mari berplesir sejenak membongkar itikad paragrap di atas dalam menguak ledakan makna di balik kontradiksi modus produksi dan konsumsi kita abad ini. Sebab masing kita nisbi punya pembenaran maupun pembelaan atas apapun yang kita sebut sebagai pilihan. Bahkan sebagian mengamini dimensi reversibilitas yang dinyatakan Jean Baudrillard sebagai Reversibility is Beautiful. Yang dalam konteks wacana perebutan pasar nikotin (kuasa atas hak paten) membawa pemutakhiran makna hospitality; mengkomodifikasi ketergantungan. Seperti beralihnya penggunaan bahan bakar di dapur maupun di gerobak penjual gorengan, sampai berpindah dan menetapnya fungsi korek api di tangan perokok.

Tulisan ini hanya ingin menyoroti sekilas saja kehidupan perokok, yang sejak korek api terusir dari dapur lantas bersuaka nasibnya di saku dan meja kopi, serta ritus dunia ngebul antar sesama. Azas pertanyaan akan wacana kepunahan dan gempita ilusi pemutakhiran, dimana pada posisi yang kasat konsumen tak lain adalah tawanan citra pasar. Maka seperti pula yang pernah ditulis dalam artikel pada web ini yang memuat ciri kretekus mesti ada bagian sandangannya yang terkena percikan. Lalu ciri pengguna pavor? Mungkin sandangannya aman dari percikan, namun siapa sangka jika bagian tak kasat mata yang  mengalaminya.

Baca Juga:  Desa Marikurubu, Penghasil Cengkeh Afo di Maluku Utara

Pembacaan ini adalah cara untuk mengenali lagi apa yang dapat kita identifikasi sebagai kebutuhan. Singkat saja sih. Pernah seorang teman ketika ditanya apa itu kebutuhan, eh malah melariskan hal-hal ilusif yang dijanjikan pasar kecantikan. Jadi teringat lagi saya pada larik puisi  Di Salon Kecantikan-Joko Pinurbo, “kecantikan dan kematian bagai  saudara kembar yang pura-pura tak saling mengenal.”

Seturut itu pula wacana perlawanan puak yang mengulungkan misi industri kesehatan, kerap kali merayakan semangat orgy yang sama; sirkus wacana yang mengulang tanda, pembolak-balikan muatan reproduktif. Menjauh dari penalaran andil aurum tembakau, kandungan atsirin cengkeh, yang disesap dan diserap tubuh dan mencerapkan utilitas yang multidimensional pada tubuh Indonesia kita. Sebagaimana kretek, membaca kembali Indonesia sebagai sintesa kultural.

Belakangan yang saya temukan kebanalan antirokok dalam mengeksploitasi objek yang dibelanya, sebut saja terhadap anak sekolah yang diperbantukan memuluskan misi berargo mereka (baca: antirokok). Alih-alih atas nama kesadaran akan kesehatan, mereka seakan-akan menihilkan kapasitas orangtua dan guru dalam mendidik dan mengayomi.

Atau boleh jadi lantaran ketidak-mampuan saya menjangkau kedalaman niat TULUS mereka yang ingin diabadikan dalam sejarah perlawanan. Pada kerumun wacana atas nama kesehatan, yang mengemuka sekali terdpat pada pemutakhiran simbol serta mangsa pasar yang disasrnya. Dan bukan rahasia, salah satu dan salah duanya terciri pada upaya komodifikasi penggunaan tembakau di hilir (konsumsi) serta diversifikasi lahan tanam di hulu (produksi). Mengingat pula kesehatan telah menjadi sesuatu yang normatif di kepala publik, siasat eksploitasi dan pelecehan peran pengayom jadi tak terkesan bukan?

Baca Juga:  5 Alasan Mengapa Rokok Kretek Hanya Ada di Indonesia

Maka apa yang Baudrillard ungkapkan dalam Illusion of the End, bahwa, “sejarah tidak akan berakhir—karena sisa-sisanya, seluruh residunya – Gereja, komunisme, kelompok etnis, konflik, dan idiologi— dapat didaur-ulang terus-menerus secara tak terbatas.” Sehingga apa yang dimaknai sebagai sejarah perlawanan antirokok atau yang dianggap sebagai jihad dalam menginsyafi genarsi, terlebih lagi para perokok, yang digosipkan berkawan dengan iblis, lantaran api pada rokok dianggap representasi dari bahan baku makhluk ciptaan tuhan yang istiqomah itu. Yang di balik itu semua api perlawanan di dada mereka bukanlah nyala yang tanpa minyak. Nyala awal dari akhir yang melicinkan pasar pemutakhiran (penggunaan) nikotin. 

Jika semua produk budaya kita mengalami pemutakhiran, sampai kretek pun akhirnya demikian, ke mana fungsi korek api bersuaka sehari-hari? Sebab dari ke semua produk NRT (Nicotine Replacement Therapy) bermain lewat tanda dengan meniadakan unsur api dalam penggunaannya. Boleh ditafsir pula sebagai upaya meniadakan kekuatan Agni pada kita yang senantiasa muda tergambarkan.

Salam bara kretek !

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta