Press ESC to close

Menilik Cengkeh dan Mewaspadai BOB ASU

Cengkeh terbilang tanaman ajaib yang memiliki nilai komoditas tinggi di Indonesia. Terlebih serapannya untuk kebutuhan industri kretek. Mencium bau cengkeh, bagi yang gemar jelajah masakan Nusantara tentu akan teringat pada bumbu masakan khas suatu daerah. Aceh di antaranya. Masakan Aceh disinyalir menganut budaya ‘royal bumbu’, karena Aceh merupakan pertemuan budaya multi bangsa di masa lampau. Sebut saja Mie Aceh, Nasi Briyani, Kari Kambing, adalah jenis-jenis masakan yang banyak melibatkan unsur rempah-rempah.

Aceh pada masa lampau terkenal pula sebagai pelabuhan dagang internasional mengekor kepopuleran Malaka. Di Sabang sendiri masih terdapat sejumlah perkebunan cengkeh. Meski kita ketahui pada masa lampau Aceh hanya lebih dikenal sebagai penghasil lada. Berbeda dengan Maluku, yang oleh masyarakat adat setempat disebut Maluku Kie Raha. Dimana cengkeh dan pala merupakan komoditas unggulan, yang boleh dikata setiap jengkal tanah dan tanamannya—terutama cengkeh—merupakan monumen historis yang turut mempengaruhi peradaban dunia.

Menyoroti Ternate yang juga bagian dari gugus kepulauan Maluku, ditengarai sajian makanan sehari-hari yang bahan utamanya ikan dan hasil laut lainnya justru tidak menganut budaya ‘royal bumbu’. Khususnya penggunaan cengkeh dan pala. Berbeda dengan sajian makanan masyarakat Aceh.

Sementara dilihat secara karakter sosial, ekonomi, politik, agama, bahkan budayanya tak terlalu jauh beda. Aceh dan Ternate merupakan kota pelabuhan yang sangat ramai dan populer pada masa lampau.  Interaksi yang sangat kerap antara masyarakat lokal dengan pedagang dari seluruh dunia di Ternate juga dialami masyarakat Aceh, karena keduanya merupakan bagian dari Jalur Sutera.  Tentu hal ini membentuk karakter masyarakat yang memiliki kemiripan.

Betapa pun itu, telah sama kita ketahui cengkeh dari kepulauan Maluku memberi andil yang tak sedikit untuk industri kretek Indonesia. Sekira 93% terserap untuk memenuhi pasar domestik. Bahkan di Eropa sana rempah-rempah dari Maluku pun dikenal dengan segenap balada yang menyertainya. Yang sejak 950 SM penuh catatan intrik dagang antar bangsa-bangsa yang ingin memonopoli cengkeh.

Menilik catatan Francis Drake, petualang besar dari Inggris, saat Ia dijamu Sultan Babullah pada 1579, terdapat keterangan “Setelah usai berunding, dihidangkan makanan dari sagu, nasi dengan lauk dari kambing, ikan bubara bakar, kepiting kenari, dan ayam yang dimasak dengan ramuan cengkih.” Cukilan keterangan ini terdapat pada buku Kepulauan Rempah-Rempah.

Baca Juga:  Ini 3 Bahaya Rokok yang Tak Pernah Diungkap ke Publik

Berdasar keterangan itu dapat kita simpulkan bahwa penggunaan rempah-rempah pada sajian makanan di istana kesultanan masa itu terbilang minim. Padahal rempah-rempah merupakan bumbu mewah yang juga menjadi primadona di belahan dunia lain. Dari sisi ini tentu ada hal yang dapat ditelisik latar kesejarahannya. Yang bukan berarti kesultanan Ternate miskin pengetahuan akan pengolahan rempah-rempah sebagai bumbu masakan.

Bukankah Aceh sendiri tak punya kearifan lokal yang seperti Maluku punya, yakni pengolahan Sageru dan akar Husor yang dibubukkan untuk disuling jadi Sopi. Meski demikian, Aceh bolehlah berbangga dengan komoditas kopinya, terutama kopi Gayo. Yap. Masing daerah di Nusantara punya kearifan yang menciri dan menjadi bagian dari identitas bangsa, demikian pun kretek yang hadir menemani baku cakap di ruang pergaulan kita.

Seulas pandang, tanaman cengkeh berasal dari daerah kepulauan Maluku yang banyak terdapat gunung api (Ambon, Seram, Hamahera, Buru, dan lain sebagainya), tanaman ini dapat tumbuh subur di daerah tropis pada dataran rendah dekat laut. Sedianya tanaman cengkeh ini tidak terlalu menghendaki suatu daerah yang istimewa. Secara praktis untuk mengetahui apakah satu daerah tersebut cocok atau tidak untuk tumbuhnya tanaman cengkeh dapat ditengarai berdasar pandangan ini, “dimana daerah-daerah itu pohon petai tumbuh dan berbuah baik, di situ pohon cengkeh pun akan tumbuh dan berproduksi baik”. Pohon cengkeh menghendaki syarat-syarat tumbuh seperti pohon petai (bukan petai cina = loucena glouca). Hal ini berdasar pendapat seorang pakar cengkeh Indonesia Prof. Dr. Ir Thoyib Hadiwijaya, Menteri Pertanian pada Kabinet Pembangunan I dan II (1968—1978).

Bilamana di suatu daerah rakyatnya sejak dulu suka makan petai, tetapi di situ tidak ada pohon petai, berarti tanah dan iklimnya tidak cocok untuk tanaman cengkeh. Walaupun nenek moyangnya sudah berkali-kali mencoba, tetapi tidak berhasil. Sebaliknya bilamana suatu pusat pertanaman cengkeh yang baik, tetapi di situ tidak ada atau hampir tidak terdapat pohon petai, ini berarti penduduknya sejak dulu tidak suka makan petai.  

Baca Juga:  Nasilah, Perempuan Inspiratif di Era Awal Industri Kretek

Paparan di atas dapat menjadi pedoman kita pula untuk menilik budaya tanam dan budaya pangan di suatu daerah. Tanaman cengkeh adalah tanaman yang sangat sensitif terhadap keadaan kadar air tanah. Dalam hal ini keberadaan drainase menjadi amat penting. Oleh karena itulah cengkeh menghendaki tanah dengan tingkat kemiringan lahan (topografi) 0 sampai 50 persen (0—45 derajat), agar jika hujan air tanah dapat tetap stabil. Pada tanah-tanah datar (tingkat kemiringan 0) kadar air tanah dapat dikendalikan melalui pembuatan rorak.

Berbeda dengan cuaca yang dibutuhkan tembakau, cengkeh justru tidak tahan terhadap musim kemarau yang berkepanjangan. Cengkeh menghendaki curah hujan yang merata sepanjang tahun. Di sinilah ajaibnya, yang bagi kita perokok pada umumnya mungkin kurang ngeh, bahwa dari dua komponen utama kretek tersebut, masing-masing menghendaki perlakuan cuaca yang tak seragam.

Budaya olah tanam dan perawatan, serta budaya tata niaganya, tidak bisa secara serampangan menganut kehendak sepihak, misalnya dengan alih-alih diversifikasi yang diulungkan antirokok terhadap sektor pertembakauan. Yang itu sama halnya menihilkan modal sejarah-budaya yang sudah senafas dengan laku hidup petani sehari-hari.

Sejarah dan budaya suatu masyarakat terbentuk secara alami seturut kehendak ruang tumbuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman hayati di Nusantara tidak bisa diseragamkan berdasar skema kepentingan industri kesehatan. Apalagi kepentingan itu berazaskan BOB ASU (Biar Orang Buntung Asal Sindikat Untung).

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah