Press ESC to close

Rokok Biang Kerok Kemiskinan?

Pemerintah dan sebagian kalangan di negeri ini mengidap suatu penyakit politik yang kronis. Itu terbukti dari jurus andalan mereka yang gemar menutupi kegagalan mencipta kesejahteraan dengan cara mengkambinghitamkan yang lain. Kerap kali disebut rokok biang kerok kemiskinan.

Padahal jika kita tilik lebih dalam, kemiskinan terjadi lantaran mesin pemiskinan di negeri ini terus saja dilanggengkan negara. Coba kita tengok saja bagaimana politik polarisasi yang menimbulkan ketimpangan dan kegaduhan di masyarakat. Contoh dekat terkait isu penyediaan vaksin covid yang mestinya gratis untuk seluruh rakyat Indonesia. Tapi, wacana yang beredar justru sebagian besar rakyat harus bayar.

Artinya, jika menyangkut urusan kesehatan rakyat, janganlah dipolitisasi atas dalih apapun. Bukan apa-apa, kesehatan merupakan hak dasar seperti halnya pendidikan. Agar pandemi ini tuntas, ya rakyat harus dibuat sehat dan kuat, jangan malah dipersulit atau bahkan dilemahkan.

Kalau dulu, orang miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dalam ukuran masa kini, mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan pelayanan kesehatan, dan kemudahan lainnya yang tersedia. Termasuk dalam hal mendapatkan lapangan pekerjaan.

Mesin pemiskinan yang dilanggengkan pemerintah itu berupa sistem yang berasaskan kepentingan. Bukan kebutuhan. Di antaranya terkait pengendalian konsumsi rokok, dalilnya melalui cukai atas dasar isu kesehatan. Tarif cukai dibikin terus naik tinggi, hingga membuat banyak pabrik rokok mati tak kuasa menanggung beban produksi.

Baca Juga:  Betapa Bodohnya Orang-orang yang Merokok Sambil Berkendara

Akibat dari kondisi itu, niscaya angka pengangguran bertambah. Karena itukah rokok biang kerok kemiskinan? Sebagaimana kita ketahui, industri kretek merupakan sektor padat karya yang mampu menjadi tumpuan penghidupan masyarakat banyak. Memberi devisa triliunan tiap tahunnya.

Kita bukan tidak paham, bahwa di balik isu regulasi cukai ini terdapat hegemoni global dalam upaya mengontrol bisnis pertembakauan dalam negeri. Termasuk dalam konteks isu kesehatan. Sehingga kemudian menimbulkan dilema bagi elit kekuasaan dan jajarannya. Namun, mestinya sikap pemerintah haruslah berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan malah membunuh sumber hajat hidupnya.

Negeri kita dikenal sejak dulu dengan kekayaan alamnya, kian hari berangsur habis dikuasai modal asing yang bermain melaui regulasi. Banyak pabrikan rokok yang pada akhirnya diakuisisi oleh modal Multi National Corporate (MNC).

Lapangan pekerjaan dan sumber-sumber penghidupan riil masyarakat semakin tergusur oleh agenda dunia baru yang mengubah wajah kebudayaan bangsa. Ruang hidup masyarakat habis dimangsa politik pembangunan. Ekspresi budaya agraris tergantikan ruhnya. Sekali lagi, ini semua karena mesin pemiskinan memproduksi regulasi yang tidak adil.

Baca Juga:  Membedah 3 Capres Pemilu yang Kira-kira Terkait dengan Bloomberg

Kita lihat dari kenaikan cukai 2021 yang naik 12,5 persen, itu jelas akan menimbulkan dampak luar biasa bagi IHT dalam negeri. Kuota permintaan bahan baku berupa tembakau dan cengkeh, otomatis anjlok. Petani tambah sengsara menghadapi kondisi ini kedepannya.

Walaupun kabarnya untuk SKT tidak ada kenaikan, perlu diketahui sektor SKT ini merupakan penopang keberadaan SKM. Di sinilah politisnya pemerintah dalam memainkan nasib industri yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat dan tentu ini menambah sengsara rakyat. Ketika rokok menjadi mahal, perokok mungkin bisa beralih ke tingwe.

Jadi, bukan rokok biang kerok kemiskinan, tapi berbagai kebijakan negara.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah