Press ESC to close

Yang Perlu Diperhatikan Pemerintah Sebelum Menaikkan Tarif Cukai Rokok

Tak terelakkan memang, bahwa tarif cukai tiap tahun akan terus naik seturut target penerimaan cukai yang digagas negara pada APBN. Yang itu artinya perokok akan membeli rokok dengan harga yang tidak lagi seharga tahun-tahun sebelumnya. Lebih mahal itu jelas. Apalagi bagi golongan perokok yang koceknya pas-pasan. Mau berhenti kasihan sama negara, terutama lagi pedagang rokok warungan.

Kok bisa negara dikasihani? Lha iyes, kalau bukan kita siapa lagi yang mengasihani. Masak warga Timbuktu. Konyolnya di sini, perokok sebagai penyumbang devisa negara dibiarkan jadi mangsa pasar isu kesehatan yang tak kunjung tamat didiskriminasi.

Padahal kalau dilihat dari penerimanan cukai Industri Hasil Tembakau per 29 Juni 2018 saja, penerimaan sudah mencapai 47,76 triliun. Coba itu. Besarnya penerimaan cukai dari industri rokok itulah yang kerap menjadi penyelamat defisit BPJS Kesehatan, itu artinya duit perokok menjadi obat ampuh bagi persoalan akut di tubuh BPJS.

Tetapi sebetulnya ada tiga hal yang mesti diwaspadai pemerintah ketika harus mempertimbang angka rasional atas tarif cukai rokok. Angka yang mestinya tidak bikin pihak industri jadi dilematis dan konsumennya pun jadi tidak kepuyengan lantas ramai bersorak, “kita yang bakar rokok, kok negara yang enak-enakan menghisap duitnya”.

Lha ya tentu, kalau harga rokok jadi mahal kan pasti akan membawa efek beruntun, berpengaruh terhadap naiknya harga-harga produk konsumsi lain, ongkos mata rantai distribusi juga bakal ikut naik, ya niscaya bukan cuma perokok yang kena dampaknya. Itu pertama.

Baca Juga:  Kiat Mengurangi Risiko Penyakit Jantung

Kedua, sebelum menaikkan tarif cukai rokok, pemerintah tentu bukan tidak tahu kalau peredaran rokok ilegal adalah ceruk pasar menjanjikan yang bakal diserbu golongan perokok kreatif. Tahu kan perokok kreatif? Ialah mereka yang mampu mensiasati hidupnya dari modal pergaulan (baca: sosial) dan tangkas dalam menyumet peluang, pokoknya asal bisa ngebul gitulah intinya.

Peredaran rokok ilegal dan pangsa pasarnya ini tak lain konsekuensi dari bangsa yang oleh WS Rendra disebutkan sebagai bangsa yang memiliki daya adaptif tinggi. Konsekuensi dari naiknya harga rokok pula. Coba kalau semua perokok pada akhirnya beralih, anggap saja jadi memilih tidak membeli rokok konvensional, apa bukan negara juga yang rugi.

Meski memang hal itu mustahil terjadi, tetap saja laku rokok konvensional. Daya beli kretekus di Indonesia ini tidak seburuk yang dibayangkan. Cuma jangan heran kalau golongan kreatif juga punya cara alternatif (yang siapa tahu ini bisa jadi solusi bagi kretekus yang belum tahu). Begini, bukan tidak mungkin perokok kreatif bakal beli rokok satu bungkus untuk bisa dikonsumsi dua hari, caranya cukup dengan bermodalkan papir (kertas rokok). Tahu kan buat apa? Iya buat melinting puntung rokok sendiri.

Baca Juga:  Amerika Serikat Baru Wacanakan Peringatan Gambar di Bungkus Rokok, Selama Ini Kemana Saja?

Nah ini yang ketiga, berdasar teori psikologi massa (biar terkesan ngintelek), bahwa ketika suhu memanas masyarakat tentu butuh penyejuk. Nah, tahun 2019 adalah tahun politik yang berpotensi bikin banyak orang ‘panas’. Dibikin pusing sama bualan politisi dan beban hidup yang kian absurd. Istilahnya saja merayakan pesta demokrasi, pada praktiknya kan berisi pesta basa-basi belaka.

Seperti Pemilu yang sudah-sudah masyarakat kita muak sebetulnya sama prilaku politisi pengobral omong kosong. Walhasil para politisi macam itu, yang rata-rata main politik transaksional, bakal jadi ATM masyarakat penikmat duit pelancar suara. Iya tentu bukan cuma perkara buat beli rokok. Ada persoalan dapur yang juga butuh ngebul. Di situlah kewarasan kita dalam berdemokrasi dipertanyakan.

Kalau orang stress makin bertambah, karena sehari-hari terimbas dampak dari realitas itu, sementara sarana rekreatif nan murah (baca: rokok) makin sulit dijangkau, apa tidak berpotensi menimbulkan gejolak sosial, siapa yang rugi kalau sudah begitu?

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah