Press ESC to close

Harga Rokok Sudah Mahal, Antirokok Tidak Juga Puas

Isu cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi tak pernah henti dimainkan antirokok. Mulai dari mendorong naiknya cukai serta isu simplifikasi terus didesakkan mereka. Hal ini bisa diketahui dari pandangan antirokok yang mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang struktur cukai dan harga rokok.

Disparitas tarif antar golongan cukai yang dianggap terlalu lebar perbedaannya yang membuat pabrikan bertahan memproduksi rokok golongan murah. Isu kenaikan cukai rokok yang kerap didorong antirokok ini jelas ingin menghantam keberadaan IHT di Indonesia. Terutama sektor kretek.

Kita bisa tilik dari semakin merampingnya layer cukai sejak 2009, dimana sebelumnya terdapat 19 layer. Kini pada tahun 2022 menjadi 8 layer. Tentu saja, perubahan layer ini sangat berdampak terhadap nasib ekosistem kretek di Indonesia.

Sebagai catatan, sejak tahun 2013 sampai 2021 secara trend linear produksi rokok turun 3,56 miliar batang setiap tahun. Berdasar data yang dikutip dari GAPPRI,  secara rinci pada 2013, produksi rokok sebanyak 345,89 miliar batang, kemudian 2014 menjadi 344,52 miliar batang. Pada tahun 2015 naik menjadi 348,10 miliar batang.

Selanjutnya, pada 2016 kembali turun menjadi 341,72 miliar batang, 2017 ada 336,34 miliar batang, 2018 menjadi 332,68 miliar batang. Pada 2019 produksinya sempat 363,56 miliar batang. Lalu terjadi lagi penurunan pada 2020 yang ada 330,59 miliar batang, dan di 2021 terus turun menjadi 297,53 miliar batang.

Kondisi trend penurunan produksi rokok ini akibat dari eksesifnya aturan rokok yang diterapkan pemerintah. Berdasar data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menunjukkan, pabrikan rokok pada tahun 2007 berjumlah lebih 4.600 pabrik.

Namun pada tahun 2015 jumlahnya tinggal 713 pabrik, di antaranya terdiri dari 246 pabrik rokok sigaret kretek mesin, serta 441 pabrik rokok sigaret kretek tangan, dan 26 pabrik rokok sigaret putih mesin. Penurunan jumlah pabrikan yang terus menurun ini disumbang pula oleh kondisi pandemi dan prevalensi perokok.

Daya beli masyarakat menurun sangat signifikan, bila ditarik secara umum, baik pabrikan besar maupun kecil menengah mengalami persoalan pasar yang sama. Terjadinya kontraksi pada industri rokok dalam negeri yang membuat stakeholder rokok berharap kenaikan cukai rokok pada 2022 tidak menambah berat beban industri.

Baca Juga:  Perlindungan Hukum Dalam Budaya Tembakau dan Kretek

Namun, pada kenyataannya tidak. Ketetapan kenaikan CHT (Cukai Hasil Tembakau) untuk 2022 rata-rata mengalami kenaikan 12 persen untuk golongan atas SKM dan SPM. Jika pada tahun 2022 ini sektor SKT tidak mengalami kenaikan, lantaran pemerintah memiliki pertimbangan terkait dampaknya terhadap tenaga kerja.

Sebagaimana kita tahu, kenaikan cukai bagi sektor SKT yang merupakan sektor padat karya, akan menambah beban produksi dan berdampak pada efesiensi ke sektor pekerja dan serapan bahan baku.

Pasca pandemi ini, kondisi IHT tengah beranjak memulihkan diri, meski masih terseok untuk mendongkrak pulihnya daya beli pasar. Di tengah kondisi semacam ini, para pengusung agenda pengendalian tembakau global yang ada di Indonesia, terus mendesakkan agenda mereka, yang menilai pabrikan rokok masih mampu mempertahankan produksi rokok murah sehingga itu dianggap tiak membuat efektif agenda pengendalian konsumsi rokok di masyarakat. Banyak masyarakat yang beralih membeli rokok level murah tersebut.

Sebagai konsumen, saya merasakan betapa kompleksnya beban yang harus dihadapi industri hasil tembakau di Indonesia. Terutama pada nasib pabrikan bermodal kecil, kita tahu sendiri brand-nya saja tidak begitu populer dibanding rokok pabrikan besar. Kemudian, daya jangkau pasarnya juga terbatas.

Untuk dapat mengembalikan modal produksi saja sudah bagus, sebab pasar mereka juga harus bersaing tidak hanya dengan brand-brad besar, tetapi juga bersaing dengan peredaran rokok ilegal yang sangat marak. Peredaran rokok ilegal ini merupakan konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah sebagai akses dari kenaikan cukai.

Konyolnya pandangan antirokok dalam melihat kondisi ini, membuat saya gregetan ingin memastikan, apakah sejatinya antirokok memang berpihak pada persoalan kesehatan publik. Sebab dalih yang selalu dijadikan tameng dari desakan mereka akan keberadaan harga rokok ini adalah isu kesehatan.

Sementara, bila dilihat dari variabel gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat, perkara kesehatan itu sebagian besar dipicu oleh tidak seimbangnya pola konsumsi. Kenapa selama ini pihak YLKI begitu kerap menyoroti produk rokok dibanding produk konsumsi lain yang memiliki faktor risiko terhadap kesehatan?

Bagi saya, sejauh jika diukur dari pendapatan per kapita masyarakat, harga rokok yang beredar di pasaran sudah terbilang mahal. Tidaklah keliru jika para perokok banyak yang beralih ke rokok-rokok murah. Toh yang mereka beli produk legal, bukan barang ilegal.

Baca Juga:  Tidak Seperti Rokok, Pesan Kesehatan Pada Kemasan Makanan Tanpa Gambar Menakutkan

Mestinya YLKI concern mengkritisi bahaya buruk dari peredaran rokok ilegal. Karena produk ilegal itu selain merugikan konsumen juga merugikan pendapatan pemerintah. Sebagaimana kita tahu, pemerintah menargetkan penerimaan CHT 2022 sebesar Rp 193 triliun pada 2022. Angka ini setara 10 persen penerimaan negara sepanjang tahun 2022.

Jika pada kondisi ini pabrikan bertahan memproduksi SKT secara legal dengan membayar pungutan cukai ke pemerintah. Meski di pasaran harganya tergolong murah, itu merupakan sinyal yang menggembirakan bagi ekonomi negara. Bisa dikatakan, kontribusi SKT untuk target penerimaan CHT 2022 tidak bisa disepelekan pada kondisi pasca pandemi ini. Setidaknya tidak menyumbang angka lonjakan pengangguran saja ya sudah bagus.

Selanjutnya, satu hal yang perlu dicurigai dari pandangan antirokok, kenapa sih mereka tak pernah puas dengan kondisi harga rokok yang sudah mahal tapi masih saja mendorong isu cukai rokok? Bukan mustahil ini semua ada kaitannya untuk mendongkrak angka bancakan cukai.

Berdasar aturan Permenkeu No. 2/2022, ada alokasi DBHCHT untuk kembali ke petani, alokasi untuk kesehatan dan pembinaan sosial, ini yang biasanya dimainkan untuk kampanye kesehatan terkait bahaya rokok. Ada porsi untuk pengawasan dan pemberantasan rokok ilegal.

Di balik itu, berdasar peta perang nikotin (Wanda Hamilton), terkait agenda politik dagang farmasi melalui gerakan pengendalian tembakau global. Bahwa pengendalian konsumsi juga bermain lewat politik regulasi, di antaranya regulasi cukai. Bukan mustahil, target antirokok ini mendorong percepatan target single tariff. Agar kemudian, harga poduk HPTL (produk nikotin tanpa asap) di pasaran semakin kompatibel merebut nalar perokok untuk beralih ke situ.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah