Press ESC to close

Kebijakan Tembakau Dalam Negeri Tak Boleh Dikendalikan Asing

Konstitusi Indonesia mengamanatkan agar bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemamkmuran rakyat. Ketentuan itu harus diberlakukan terhadap seluruh komoditas alam yang menjadi kekayaan bangsa ini, termasuk tembakau. Kebijakan tembakau di Indonesia harus berorientasi pada kemakmuran rakyat seutuhnya.

Sudah jamak diketahui, bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan salah satu tiang ekonomi negara, salah satu sektor strategis yang punya sumbangsih besar bagi ketahanan ekonomi nasional. Sumbangsih pertama adalah pendapatan negara yang didapat melalui cukai hasil tembakau (CHT). Sumbangsih selanjutnya adalah lapangan pekerjaan.

Sebagai informasi, terhitung dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, CHT menjadi penyumbang pendapatan yang istimewa bagi negara, realisasi penerimaan dari cukai rokok mencapai rata-rata 105,2%, artinya penerimaan negara dari cukai rokok selalu melampaui target yang dicanangkan setiap tahunnya. Tahun 2021, CHT menyumbang sekitar Rp 188,81 triliun pemasukan bagi APBN.

Kemudian soal lapangan pekerjaan. IHT adalah industri dengantingkat serapan tenaga kerja yang sangat masif. Oleh karenanya IHT disebut sebagai industri padat karya. Bukan ratusan atau ribuan orang, melainkan jutaan kehidupan warga negara Indonesia bergantung pada tumbuh kembang industri ini.

Data dari Kementerian Perindustrian menunjukan ada sebanyak 5,98  juta orang yang bekerja di industri ini pada tahun 2019. Jumlah itu terbagi menjadi 4,28 juta orang merupakan tenaga kerja di sektor manufaktur dan distribusi, kemudian sebanyak 1,7 juta orang bekerja di sektor perkebunan yang berkaitan dengan industri ini, baik tembakau maupun cengkeh.

Tembakau di Indonesia kerap diistilahkan dengan sebutan “emas hijau”. Hal itu merujuk pada nilai ekonomis yang ada di dalam lembar demi lembar daun tembakau lokal. Tembakau lokal atau tembakau dalam negeri Indonesia juga memiliki kualitas yang mampu bersaing di level global. Tanaman tembakau menjadi berkah yang tumbuh subur di nusantara dan menghidupi jutaan kehidupan selama bertahun-tahun dari generasi ke generasi.

Baca Juga:  Memprotes Pernyataan Diskriminatif IDI Terhadap Perokok

Sayang beribu sayang, emas hijau ini ini justru kerap dipenuhi kontroversi. Semua juga tahu, bahwa berbagai bentuk kebijakan pemerintah tentu dilatari oleh kepentingan. Hal yang harus diidentifikasi oleh semua pihak adalah terkait kepentingan siapa yang diakomodir dalam setiap kebijakan atau regulasi yang mengikat tembakau di Indonesia.

Sebagai komoditas unggulan dalam negeri, yang dihidupi dan menghidupi anak Indonesia lintas generasi, akan sangat ideal apabila kebijakan tembakau yang dibuat senantiasa mengusung kepentingan dalam negeri, bukan kepentingan asing. Namun, stakeholder pertembakauan seringkali mencium aroma pengkhianatan dalam setiap produk regulasi yang dihasilkan, kebijakan tembakau akan menentukan nasib bukan hanya petani, tapi juga setiap elemen yang terlibat di dalamnya, dari hulu ke hilir.

Ketua FSP RTMM, Sudarto, mengatakan indikasi intervensi asing dalam penyusunan kebijakan soal tembakau sudah terpampang nyata. Salah satu indikasi yang diungkap Sudarto adalah gelaran 7th Asia Pacific Summit Mayors yang diselenggarakan Asia Pacific City Alliance for Health and Development (APCAT) pada awal Desember 2022. Di dalam acara itu terdapat sejumlah lembaga asing yang identik dengan agenda pengendalian tembakau global, seperti Bloomberg Philanthropies yang sering mendonasikan dolar untuk kepentingan antirokok lintas benua.

“Aliran dana itu sudah banyak yang tahu. Tapi yang menyerang tembakau hanya memanfaatkan kucuran dana untuk kampanye tanpa memperhatikan kondisi pekerja. Bicara soal rokok kita harus lihat lebih dalam karena ada aspek pekerja. Kami sudah mengirim surat kepada Presiden Jokowi untuk menolak intervensi ini pada 2 Desember lalu,” ujar Sudarto, dikutip dari Kumparan.

Baca Juga:  Betapa Bodohnya Orang-orang yang Merokok Sambil Berkendara

Salah satu kontroversi di dalam negeri yang menurut Sudarto terindikasi telah ditunggangi oleh lembaga asing adalah wacana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012). Sudarto menilai kalau PP 109/2012 tidak berada di fase harus revisi, melainkan perlu optimalisasi implementasi. Revisi hanya akan memberi ruang untuk menyisipkan klausul-klausul baru yang rentan terhadap stakeholder pertembakauan.

Sebagaimana yang diungkapkan Sudarto, fenomena ini bukan hal baru di Indonesia. Bloomberg hanya melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sejak dulu sudah mereka lakukan di Indonesia, yakni mendanai kelompok anti-tembakau dan anti-rokok di Indonesia. Manuver Bloomberg dalam berbagai kampanye pengendalian tembakau di Indonesia sudah sejak lama diketahui dan diperbincangkan publik. Lebih lengkap bisa dibaca di sini.

Hukum memang tidak boleh statis, harus dinamis seiring dengan perubahan yang terjadi di tengah masyarakat. Tapi, hal itu tidak bisa dijadikan dalih untuk mengubah atau melahirkan produk hukum baru semata-mata atas dasar kepentingan kelompok atau golongan. Masyarakat yang akan diatur oleh sebuah peraturan harus mampu mengintervensi dan berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan sebuah peraturan.

Ingat, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara bukan untuk dipergunakan oleh pejabat, politisi, kelompok atau golongan tertentu saja, melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *