Press ESC to close

Beda Dengan Menkeu, Bea Cukai Justru Berterimakasih Pada Industri Tembakau

Industri tembakau sebagai salah satu sumber pendapatan andalan telah sejak lama diketahui masyarakat Indonesia. Pada masa krisis moneter misalnya, industri ini mampu bertahan menghadapi hantaman badai krisis.

Ketika itu ekonomi makro terguncang, ditandai masalah inflasi, utang luar negeri, dan ketimpangan. Ditandai dengan Thailand menyatakan tak mampu membayar hutang luar negerinya. Kondisi moneter ini berdampak langsung terhadap inflasi di Indonesia.

Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di Indonesia. Tercatat sejak tahun 1997 hingga 1998, Indonesia mengalami inflasi mencapai 70 persen dan pertumbuhan ekonomi turun hingga 13 persen.

Justru pada masa krisis itu produksi industri rokok meningkat, dari 220 miliar batang pada tahun sebelumnya, menjadi 269,8 miliar batang. Penerimaan CHT mencapai periode 1996/1997 sebesar Rp 4.060,5 miliar, periode 1997/1998 mencapai Rp 4.892,8 miliar, periode 1998/1999 mencapai Rp 7.459,4 miliar, periode 1999/2000 mencapai Rp 10.113,3 miliar.

Kemudian, melewati satu setengah dekade kemudian, banyak dinamika politik dan ekonomi terjadi. Regulasi tentang pengendalian tembakau berlangsung masif mengubah banyak hal. Terbitnya PP 109/2012 menjadi lonceng kematian bagi nasib puluhan juta orang yang bergantung hidup dari sektor pertembakauan.

Seturut itu pula desakan global melalui traktat FCTC, yang salah satu klausulnya menekankan kepada seluruh negara peserta FCTC, termasuk Indoneisa, untuk menjadikan cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok di masyarakat.

Baca Juga:  Bagaimana Sebaiknya Kampanye Kesehatan Tentang Rokok Dilakukan?

Eksesesifnya kenaikan cukai sejak tahun 2016 semakin menguatkan kesan betapa pemerintah kita tunduk dalam kendali agenda pengendalian itu. Kenaikan tarif CHT mulai dari 12 persen sampai 23 persen, dengan angka pendapatan yang selalu tercapai.

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menyebutkan, pendapatan pemerintah dari cukai senilai Rp 185,9 triliun pada 2020. Nilai tersebut meningkat 2,7% dari capaian tahun sebelumnya Rp 181 triliun.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) pemerintah menargetkan penerimaan cukai meningkat 11,92% menjadi Rp 203,92 triliun pada 2022 dari 182,2 triliun pada 2021 (outlook).

Namun, pada akhir tahun lalu justru dalam laporannya Menteri Keuangan menyebut konsumsi rokok masyarakat sebagai penyebab beban negara. Disebut-sebut Menkeu bahwa BPJS harus menanggung Rp 15 triliun dari total biaya kesehatan penyakit akibat rokok. Dengan kata lain, rokok dinyatakan sebagai momok yang membuat negara mengalami kerugian.

Kocaknya, justru berbeda dengan sikap Bea Cukai dalam agenda kerjanya justru bertekad mengoptimalkan penerimaan dari sektor industri tembakau. Menurut Kasubdit Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, kunjungan ke para pelaku usaha rokok adalah langkah yang penting. Dia menambahkan akan membuat kebijakan dan tindakan yang mendukung para pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya.

Dari pernyataan terbuka ini jelas membuktikan, bahwa rokok dan industrinya sangat menjadi concern Bea Cukai dalam upaya meraup penerimaan pajaknya. Padahal ya, rokok kerap disebut sebagai musuh bersama dari kacamata isu kesehatan.

Baca Juga:  Ahok, Susi, dan Bahasa Lenong tentang Rokok

Dalam konteks isu kesehatan ini, kalangan antirokok pun tak pernah berhenti dalam mendiskreditkan rokok. Menyebut-nyebut selalu beban biaya kesehatan yang harus ditanggung negara, walau sejatinya itu memang sudah menjadi tanggung jawab negara dalam memberi akses kesehatan bagi rakyatnya secara adil tanpa pandang persoalan konsumsinya.

Brengseknya, rokok selalu saja disebut sebagai biang kerok dari berbagai penyakit mengerikan. Mulai dari penyakit jantung, stroke, diabetes, obesitas, belakangan dikait-kaitkan dengan persoalan stunting dan gizi buruk. Intinya, rokok itu pembunuh dan perokok beban negara. Hal itu itu saja yang direpetisi.

Namun, dalam hal meraup penerimaan dari pajak dan cukai, pemerintah justru getol melakukan upaya pendekatan terhadap para pelaku bisnis rokok. Di sini yang paradoks. Duitnya mau diraup, kok ya konsumennya terus saja dirujak dengan berbagai cap buruk. Tidak fair? Jelas!

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah