Press ESC to close

Perusahaan Rokok Tergerus Kebijakan Cukai

Perusahaan rokok besar di Indonesia mulai merasakan dampak nyata dari regulasi cukai, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) adalah salah satunya. Berstatus sebagai salah satu ‘raja’ di industri hasil tembakau (IHT) tak membuat mereka bebas dari efek ekonomis sebuah produk kebijakan.

Pada semester I tahun lalu (2021) HMSP mencatatkan laba bersih sebesar Rp 4,13 triliun. Berdasarkan laporan keuangan per Juli 2022, semester I tahun ini, HMSP hanya mencatatkan laba bersih di angka Rp 3,04 triliun, turun sekitar 26,25 persen secara tahunan (year on year). Angka-angka tersebut didapat dari penghitungan laba kotor perusahaan dikurangi dengan beban pajak penghasilan.

Padahal, perusahaan rokok yang merupakan anak dari PT Philip Morris Indonesia (PMID) dan afiliasi dari Philip Morris International Inc. tersebut mencatat penjualan bersih sebesar Rp 53,5 triliun pada semester I tahun ini. Angka tersebut terhitung naik 12,34 persen dibandingkan dengan penjualan bersih pada periode yang sama di tahun lalu (2021) yang hanya mencapai Rp 47,63 triliun. Lantas mengapa laba bersih mereka bisa turun?

Setelah ditelisik, pada semester I 2022 perusahaan rokok yang berdiri sejak tahun 1913 tersebut mengalami kenaikan beban pokok perusahaan sekitar 17,35 persen secara tahunan, angkanya mencapai Rp 45,52 triliun. Kenaikan yang signifikan tersebut ternyata melampaui kenaikan penjualan bersih tadi. Alhasil, peningkatan penjualan HMSP tidak diikuti dengan peningkatan laba bersih, bahkan terjadi penurunan.

Dji Sam Soe
Rokok Dji Sam Soe, salah satu produk legendaris Sampoerna

Kenaikan beban pokok tersebut dipicu oleh kenaikan beban pita cukai. Seperti yang kita ketahui, per 1 Januari yang lalu pemerintah resmi memberlakukan tarif cukai 2022 yang naik rata-rata sebesar 12 persen. Beban pita cukai HMSP pun membengkak hingga mencapai Rp 34,14 triliun, naik 28 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya sebesar Rp 26,67 triliun. Bisa dibilang, keuntungan HMSP tergerus oleh kebijakan cukai di Indonesia.

Baca Juga:  Pidana Kurungan dan Gagal Panen Cengkeh Warnai Kaleidoskop Kretek 2017

Hal yang serupa juga dialami oleh perusahaan rokok besar lainnya. PT Gudang Garam Tbk (GGRM) membukukan penurunan laba yang sangat signifikan. Berdasarkan laporan keuangan GGRM per Juni 2022, pada semester I tahun ini laba mereka anjlok hingga 59,37 persen. Mereka hanya mampu mencatatkan laba sebesar Rp 956,14 miliar, merosot tajam dibandingkan laba semester I tahun lalu yang mencapai Rp 2,35 triliun.

Ironisnya, sama seperti yang dialami oleh HMSP, GGRM justru mencatatkan kenaikan pendapatan. Angkanya mencapai Rp 61,67 triliun, naik 1,82 persen dibandingkan periode sama pada tahun 2021 yakni sebesar Rp 60,5 triliun. Lantas apa yang menyebabkan terjadinya penurunan laba GGRM? Ya, persis seperti yang dialami HMSP, terjadi peningkatan beban pokok penjualan.

Gudang Garam Filter
Produk unggulan dari Gudang Garam

Kenaikan pita cukai, PPN, dan pajak rokok adalah komponen yang paling berkontribusi dari peningkatan beban pokok GGRM. Beban tersebut mencapai Rp 50,7 triliun, naik sekitar 10,68 persen dibandingkan semester pertama 2021 sebesar Rp 45,81 triliun. Artinya, keuntungan GGRM tergerus oleh kebijakan cukai di Indonesia, persis seperti yang dialami HMSP.

Di samping kenaikan tarif cukai yang jelas membebani perusahaan rokok, situasi dan kondisi ekonomi yang belum stabil pasca pandemi juga cukup berpengaruh. Pembengkakan biaya juga terjadi di sektor distribusi dan pemasaran. Itu pula yang membuat kebijakan cukai pemerintah dipertanyakan; “Ekonomi sedang sulit akibat pandemi, kok ditambah dengan kenaikan beban tarif?”

Baca Juga:  Dari Hoax Menjadi Wacana

Padahal, IHT adalah salah satu tiang penopang ekonomi negara ini. Selain karena menjadi andalan pendapatan bagi negara (realisasi penerimaan cukai rokok selalu melampaui target setidaknya dalam 3 tahun terakhir), IHT juga merupakan industri padat karya yang menjadi andalan pendapatan bagi jutaan orang. Ada jutaan tenaga kerja yang terlibat dan menggantungkan hajat hidupnya (serta keluarganya) dari industri ini.

Dua perusahaan rokok di atas (Sampoerna dan Gudang Garam) adalah contoh, hal yang sama sangat dimungkinkan juga dialami oleh perusahaan rokok lain mulai dari skala pabrikan hinga industri rumahan yang terkecil. Pemerintah pasti sadar betul, apa yang dialami oleh perusahaan, pada titik tertentu, akan berdampak ke manusia yang terlibat aktif di dalam ekosistemnya, di antaranya buruh, petani tembakau, juga konsumen. Dalam situasi ini, kebijakan cukai yang diputuskan pemerintah menjadi elemen vital yang akan menentukan dampak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *