Press ESC to close

Pedagang Mulai Terdampak Naiknya Harga Rokok

Sejak awal kabar kenaikan tarif cukai rokok mengemuka, saya langsung khawatir. Sebagai perokok, saya jelas khawatir harga rokok melambung. Pasalnya, kenaikan tarif cukai rokok menyentuh angka 23 persen dan kenaikan harga jual eceran di angka 35 persen. Dengan angka tersebut, rokok diperkirakan akan naik harganya sekitar Rp 2-3 ribu. Alamak!

Kenaikan harga ini berdampak banyak bagi konsumen. Selain harus mengeluarkan dana lebih untuk merokok, kami para perokok juga harus berpikir ulang mengenai pengeluaran bulanan. Dengan perubahan harga, hitung-hitungan pengeluaran juga turut berubah. Sedangkan penghasilan? Ya, segitu-segitu aja. Di situ kadang saya merasa sedih.

Apakah persoalan kenaikan cukai rokok selesai di tataran konsumen? Oh, tentu tidak. Pedagang—sebagai pihak yang menjual rokok ke konsumen—juga memiliki keluhan sektoral. Jangan kalian kira harga rokok yang melambung itu salah mereka. Tidak. Tidak sepenuhnya.

Harus diakui, memang ada beberapa oknum pedagang “nakal” yang coba mendulang untung di tengah isu kenaikan harga. Sejak sekitar bulan September 2019 yang lalu, beberapa pedagang sudah menjual rokok dengan harga baru yang seharusnya berlaku per tahun 2020. Tapi ingat, itu hanya oknum pedagang nakal. Tidak semua pedagang.

Baca Juga:  YLKI, Rokok, dan Menteri Sosial

Di awal tahun 2020 ini, harga rokok (seharusnya) belum naik sebagaimana yang dikhawatirkan. Harga yang naik per 1 Januari 2020 itu tarif cukai, bukan harga jual eceran. Jadi, rasanya sah-sah saja mencurigai oknum yang menjual rokok dengan harga selangit di awal tahun. Penjelasan cara kerja kenaikan tarif cukai bisa dibaca di sini.

Kenaikan tarif cukai rokok juga membuat pedagang menjerit. Fahri, salah satu pedagang rokok di Pasar Gandaria, Jakarta Selatan, mengaku kenaikan harga membuat perputaran bisnis kios yang dimilikinya semakin sulit.

“Naik terus, kami yang jual juga bingung, ya mencekik kami juga,” keluhnya.

Sejak pertengahan tahun lalu konsumen sudah mulai ketakutan menghadapi kenaikan harga. Oleh karena itu beberapa orang membeli stok rokok sebanyak-banyaknya untuk persiapan menghadapi harga baru. Permintaan meningkat hingga oknum pedagang nakal tadi menaikkan harga secara signifikan. Kepanikan timbul.

Ketidakstabilan harga di pasar jelas membuat nasib pedagang ikut terkatung-katung. Beberapa pedagang eceran juga mau tidak mau harus curi start menaikkan harga jual eceran, mengingat harga rokok yang mereka beli pun sudah lebih dulu naik. Konsumen mengeluh. Pedagang eceran kebingungan, kalau jual dengan harga lama maka keuntungan mereka raib. Kalau jual harga baru, pembeli menurun. Ketidakpastian semacam ini yang mencekik pedagang.

Baca Juga:  Mencurigai Antirokok di Balik Hoax Gajah Merokok

Menanggapi fenomena ini, sebagian konsumen sudah menemukan solusi. Konsumen rokok bisa beralih ke tingwe. Selain harganya yang lebih murah, rasa tingwe juga tak kalah dengan rokok pabrikan. Lalu permintaan rokok bercukai mulai menurun, solusi apa yang tersedia bagi pedagang eceran? Bagaimana dengan petani tembakau? Petani cengkeh? Entahlah.

Inilah dampak kebijakan yang dibuat dengan tidak bijak. Alih-alih mengurangi jumlah prevalensi perokok, kenaikan cukai justru menimbulkan efek domino yang sebetulnya banyak buruknya juga. Semoga di tahun 2020 ini semua stakeholder pertembakauan bisa menemukan solusi bersama. Tabik.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd