Press ESC to close

Cukai Rokok Adalah Uang Panas

Cukai rokok adalah uang ‘panas’. Maksudnya, sumbangsih rokok pada keuangan negara sering menjadi polemik. Otoritas negara sangat mengharapkannya, tapi di sisi lain ada banyak pihak yang mengharamkannya. Standar ganda pada persoalan rokok inilah yang menimbulkan polemik.

Kita sama-sama tahu, tidak sedikit regulasi yang lahir sebagai upaya mendiskriminasi perokok. Atau paling tidak, membuat perokok tidak nyaman. Salah satu contohnya adalah Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) di berbagai daerah di Indonesia. Internet menyediakan banyak contoh lainnya.

Hampir di semua Perda KTR hanya berorientasi pada pelarangan-pelarangan. Adapun ketentuan yang membahas hak perokok, ya cuma ada di beberapa daerah saja. Meski amanat konstitusi (melalui Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 57/PUU-IX/2011) menjamin ketersediaan ruang merokok, banyak Perda KTR yang tidak mengakomodirnya.

Selain itu, stigma negatif pada perokok, khususnya di Indonesia, pun sangat kental terasa. Saking seringnya disuarakan, ada banyak masyarakat yang perlahan mengamini label-label buruk pada rokok dan perokok. Apalagi kalau stigma dan label buruk tersebut disuarakan oleh lembaga-lembaga yang otoritatif.

Lagi, media turut serta melanggengkan stigma negatif ini. Melalui berbagai model artikel dan pemberitaan, perlahan terbentuk asumsi umum bahwa rokok sumber dari segala macam penyakit, perokok dekat dengan kemiskinan dan kriminalitas. Pada puncaknya, beredar pula asumsi yang menyebut rokok barang haram, maka konsumennya pun berdosa. Sial betul nasib rokok dan perokok.

Baca Juga:  Ketika Pemkot Bogor Belum Siap Terapkan Perda KTR

Di samping semua problematika itu, uang rokok terus mengalir. Maksudnya, pendapatan negara dari sektor cukai, tahun demi tahun didominasi oleh penerimaan cukai rokok. Bahkan negara menjadikan uang rokok sebagai penyelamat BPJS Kesehatan yang terus-terusan defisit anggaran. Dan, kita tahu, bahkan antirokok sekalipun berhak menjadi penerima manfaat dari BPJS Kesehatan.

Belum lagi fakta bahwa ada banyak fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan alat-alat kesehatan di dalamnya, dibangun dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Di antaranya ada RSUD dr. Loekmonohadi Kudus, RSUD Cibabat, RS Ibnu Sina Gresik, you name it. Itu semua dibangun dengan kontribusi cukai rokok.

Di masa pandemi seperti saat ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga semakin bergantung pada DBHCHT. Terbaru, Pemkab Probolinggo melakukan refocusing anggaran. Alokasi DBHCHT untuk bidang kesehatan di Probolinggo meningkat dari semula 58 persen menjadi 70 persen. Hal ini sah karena dilegitimasi oleh Peraturan Menteri Keuangan.

Kelompok yang selalu berupaya ‘membunuh’ rokok, sejenak terdiam ketika rokok menunjukkan kontribusinya. Terutama mereka yang kerap mengharamkan segala hal ihwal soal rokok, seolah lupa pada teori dan pijakannya. Oiya, bahkan ada lho kasus korupsi cukai rokok.

Baca Juga:  Pajak Rokok Untuk IKN Nusantara

Sialnya, negara justru semakin giat menghisap dana segar dari sektor ini. Cukai rokok terus dinaikkan secara gradual. Motivasi yang melatari kebijakan ini jelas perlu dipertanyakan, alih-alih membuat regulasi yang berpihak. Yang pasti kenaikan cukai secara gradual sangat mengancam industri strategis ini.

Setelah semua kondusif; APBN sudah stabil, BPJS Kesehatan sudah selamat, DBHCHT sudah dialokasikan, agenda kampanye negatif soal rokok akan berlanjut lagi, tentunya.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd