Press ESC to close

Sampai Kiamat BPJS Butuh Uang Rokok!

Uang rokok selalu menjadi andalan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menalangi tunggakan BPJS. Baru-baru ini, Pemkab Pesawaran Lampung, menggunakan DBHCHT untuk menalangi tunggakan pembayaran BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran). Jumlah yang harus dibayarkan oleh Pemkab Pesawaran sejumlah 9 miliar rupiah, tetapi baru terbayarkan sejumlah 2,3 Miliar. 

Sebetulnya, tunggakan BPJS ini bukan hanya terjadi di Pemkab Pesawaran saja, melainkan beberapa daerah juga terjadi tunggakan pembayaran. Artinya pemerintah daerah masih mengandalkan cukai rokok untuk menalangi tunggakan pembayaran BPJS. 

Dalam konteks ini, artinya pemerintah selalu mengandalkan DBHCHT untuk menambal tunggakan pembayaran BPJS. Di sisi lain, pemerintah selalu menekan produk rokok dengan berbagai regulasi yang semena-mena. Bahkan perokok pun dicap sebagai benalu dan penyebab anggaran BPJS defisit.

Bagaimana mungkin, ada sebuah negara yang mengandalkan uang dari suatu produk, namun membenci produknya bahkan peredarannya ditekan dan dibatasi. Yang lebih parahnya lagi, konsumennya dianggap sebagai pesakitan. 

Jika kita tilik lebih lanjut, penerima bantuan BPJS PBI ini mayoritas merupakan non perokok. Artinya para perokok yang selama ini dianggap pesakitan justru berperan penting.

Bagaimana jadinya kalau di Indonesia rokok itu ilegal? Pendapatan negara pasti berkurang. Jika pendapatan berkurang, pasti akan dibebankan kembali kepada rakyat untuk urusan dana talangan. 

Contohnya, BPJS dalam 2 tahun terakhir ini tidak mengalami defisit anggaran. Pada tahun 2021 BPJS surplus sebesar 38,76 Triliun rupiah. Pada tahun berikutnya mengalami kenaikan menjadi 56,51 Triliun. 

Baca Juga:  Jika Kantor Staf Presiden Benar, Lebih Baik Negara Segera Mengilegalkan Keberadaan Rokok di Indonesia

Hal itu bukan serta merta lembaga BPJS membenahi sistem yang sudah bobrok sebelumnya. Namun ada peran pemerintah dengan merubah regulasi yang sudah ada sebelumnya. Salah satu yang diubah yaitu dengan menaikan iuran 2x lipat dari sebelumnya. 

Memang dengan menaikan iuran, pendapatan BPJS pasti akan mengalami kenaikan sehingga mengatasi persentase defisit anggaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Pertanyaanya kemudian apakah masalahnya terselesaikan? Tentu tidak sobat. 

Sistem yang sudah bobrok dari awal, akan terus bobrok selama sistemnya tidak berubah. Menurut Analis Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, “Faktor surplusnya itu bukan karena faktor kinerjanya BPJS semakin lebih baik, namun murni karena faktor kebijakan yang dibuat oleh pemerintah”.

Lembaga BPJS ini harusnya sadar diri dan evaluasi. Jangan-jangan, kekacauan anggaran itu disebabkan karena penyelewangan dana oleh pejabat BPJS sendiri? Seperti yang baru-baru ini terjadi pada perpajakan dan bea cukai. 

Belum lama ini, organisasi anti korupsi yaitu Indonesia Corruption Watch (ICW) digugat oleh kementrian keuangan karena meminta hasil audit BPKP terkait program JKN BPJS kesehatan tahun 2018 dan 2019 dapat diakses oleh publik. 

ICW menuntut itu bukan tanpa alasan, mereka menemukan identifikasi penipuan atau fraud dalam pengelolaan program BPJS Kesehatan periode 2017-2019 yang membuat BPJS Kesehatan mengalami defisit sehingga pemerintah perlu menaikan iuran bulanan. 

Keterbukaan data kepada publik itu sangat penting, sehingga publik tahu mana yang sebetulnya membuat lembaga BPJS Kesehatan ini terus mengalami defisit. Kalau memang karena penyelewengan dana, maka kita sebagai masyarakat wajib hukumnya untuk menggugatnya. 

Baca Juga:  Menelisik Lebih Dalam Penyebab Defisit BPJS Kesehatan

Masyarakat yang tidak tahu apa-apa ini, justru yang menanggung akibatnya. Kita bayar BPJS untuk diri kita sendiri, bukan memperkaya pejabat-pejabat bangsat yang selalu mengeruk uang dari rakyatnya. 

Untuk saat ini, kalau kita akan mengurus segala hal harus mempunyai BPJS. Katanya, hal ini untuk memastikan Jaminan Kesehatan Nasional dapat dirasakan manfaatnya untuk masyarakat. Jika tujuannya untuk itu, semua masyarakat Indonesia pasti akan melakukannya.

Namun, kondisi masyarakat Indonesia saat ini sedang trauma atas penyelewengan dana yang dilakukan lembaga Dirjen Pajak yang ramai beberapa waktu lalu. Hal ini tentu merenggut kepercayaan publik kepada lembaga di pemerintahan. 

Pertanyaannya, bagaimana caranya mengambil kepercayaan publik lagi? Salah satu yaitu dengan transparansi data keuangan tersebut yang dapat diakses oleh publik. Masyarakat itu berhak tahu atas hal tersebut. Agar masyarakat bisa menilai kinerja para pejabat lembaga terkait yang dalam konteks ini adalah BPJS Kesehatan. 

Bagas Nurkusuma Aji

Bagas Nurkusuma Aji

Videografer di Komunitas Kretek. Lahir dan besar di Turi, Sleman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *