Esensi kretek adalah citarasa akulturatif. Sejak awalnya bahan utama sigaret khas ini terdiri dari tembakau, cengkeh, dan perisa. Istilah perisa dikenal juga sebagai saus, yakni ramuan tambahan yang melengkapi komposisi produk kretek.
Seturut hukum kebudayaan, ramuan pada kretek juga mengalami perkembangan. Berkaitan dengan kekayaan komoditas rempah di Indonesia yang terserap untuk industri kretek. Penggunaan perisa ini ditandai sebagai resep pabrikan yang tidak selalu sama antar produsen.
Nitisemito sebagai pelopor bisnis rokok sejak pra kemerdekaan Indonesia telah menggunakan unsur rasa tambahan yang itu berasal dari rempah-rempah. Di antaranya kapulaga, kayumanis, kemukus, adas, palasan, jinten, dan klembak sebagai ramuan penetral dan aromatik.
Unsur ramuan itu terbilang cocok dengan selera konsumen di masa itu yang notabene masyarakat agraris. Kemudian seiring perkembangan pasar, tidak hanya ramuan rempah saja yang digunakan. Ekstraksi buah-buahan juga digunakan sebagai saus. Yakni ekstrak salak dan nangka.
Dua perusahaan rokok terkenal, di Kudus dan Kediri kabarnya menjadi pelopor penggunaan ekstrak buah salak dan nangka sebagai pelengkap sausnya. Kepeloporan penggunaan saus buah ini yang menjadi penegas perbedaan citarasa rokok-rokok keluaran Kudus maupun Kediri. Kejayaannya ditandai sejak tahun 1970-an.
Di tahun-tahun tersebut, produk pemutakhiran kretek tak sebatas pada komposisinya. Termasuk pula pada bentuknya yang tidak lagi konus. Rokok berfilter yang dikenal dengan bentuknya yang silindris demikian laris dikenal. Penggunaan filter pada kretek membawa debut industri rokok Indonesia demikian sukses.
Jika akhir-akhir ini beragam sigaret kretek begitu menggulungkan fitur rasa tambahan, seperti rasa anggur, berry, mangga, kurma, serta teh manis. Hal itu adalah keniscayaan zaman atas pemutakhiran citarasa kretek. Tidak berarti menghilangkan esensinya. Sepanjang produk itu menimbulkan bunyi kumretek dari bakaran cengkeh, ya itulah kretek.
Jika ditilik lagi, kemunculan merek rokok dengan rasa tambahan merupakan respon atas dinamika pasar, mengingat pula daya beli masyarakat yang tak menentu. Banyak pabrikan pula mengambil skema efisiensi. Sebagaimana kita ketahui, hal itu terjadi sebagai akses dari regulasi cukai yang terus menekan kelangsungan ekonomi kretek.
Para pelaku IHT dituntut beradaptasi dengan iklim persaingan dan desakan regulasi yang membawa semangat pengendalian. Dimana pada gilirannya dimasuki—untuk tidak menyebut direcoki—oleh berbagai merek produk berbasis nikotin cair yang digadang-gadang sebagai pengganti rokok konvensional. Yakni vape.
Produk vape seperti berupaya mengambil niche di pengecapan masyarakat urban. Memainkan fitur rasa variatif pada produknya, di antaranya dengan menawarkan liquid fruity. Aromatik buah-buahan ini cukup menarik perhatian generasi baru yang terlanjur dibuat alergi sama bau rokok.
Berubahnya budaya konsumsi masyarakat ditengarai seturut gelombang invasi gaya hidup posmo dan bergesernya persepsi konsumen hingga meninggalkan corak agrarisnya.
Disrupsi di berbagai lini kebudayaan agraris merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan. Baik itu budaya komunikasi, fashion, budaya tontonan, termasuk pula budaya kulinernya. Realitas itu menjadi faktor krusial yang melatari preferensi, sehingga sejumlah merek rokok merasa perlu menggulungkan fitur rasa tambahan. Tiada lain tiada bukan untuk tetap eksis dan kompatibel dengan zaman.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply